Produksi Lokal Bahan Baku Farmasi
Industri farmasi semakin penting perannya di tengah pandemi. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah pasokan bahan baku. Ada beberapa tantangan untuk bisa memproduksi bahan baku obat, yakni dukungan memastikan hilirisasi market yang pasti, TKDN, kemudian untuk operasional harus ada dukungan perpajakan, lalu di hulu itu mesti ada industri kimia dasar.

MONDAYREVIEW.COM - Industri farmasi semakin penting perannya di tengah pandemi. Salah satu persoalan yang dihadapi adalah pasokan bahan baku. Ada beberapa tantangan untuk bisa memproduksi bahan baku obat, yakni dukungan memastikan hilirisasi market yang pasti, TKDN, kemudian untuk operasional harus ada dukungan perpajakan, lalu di hulu itu mesti ada industri kimia dasar.
Industri farmasi domestik perlu terus memberdayakan bahan baku lokal. Kita punya bahan baku melimpah, tapi kita tidak bisa menggunakan itu dengan baik, karena hampir 95 persen semua bahan bakunya adalah impor. Kandungan lokal hanya 4 sampai 5 persen saja.
Fakta tersebut menjadi tantangan agar ke depannya industri farmasi Indonesia bisa bangkit memproduksi obat-obatan dari bahan baku dalam negeri. Kebijakan pemerintah diharapkan dapat betul-betul dapat mengatasi kendala tersebut.
Pulau Madura yang terkenal sebagai sentra produksi garam, terletak dekat dengan kota besar Surabaya, tetapi menjadi persoalan adalah kurangnya akses teknologi agar garam Madura bisa memenuhi standar bahan baku obat.
Pemerintah juga dapat memperbanyak kesempatan penelitian guna memberdayakan dengan baik beragam tanaman obat di Nusantara.
Pemerintah meminta produsen farmasi nasional mempercepat produksi obat COVID-19, salah satunya adalah jenis remdesivir. Harus diupayakan untuk segera produksi dalam negeri. PT Bio Farma (Persero) sebagai produsen farmasi nasional diminta segera mengambil langkah yang cepat dan tepat agar bahan baku untuk produksi nasional dapat segera dilakukan, demi kepentingan nasional.
Sementara, Kementerian Perindustrian melalui Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Jakarta melakukan riset farmasi dan kosmetik berbasis bahan alam lokal untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri.
Penguatan peran ini akan kami jalankan dengan menyiapkan infrastruktur pengembangan fitofarmaka yang sesuai dengan standar CPOTB, penggunaan soft computing dan penerapan teknologi 4.0 guna menjadi percontohan bagi industri farmasi berbasis bahan alam. Demikian menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Doddy Rahadi.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja industri kimia, farmasi dan obat tradisional mengalami pertumbuhan yang gemilang sebesar 5,59 persen pada semester I 2020. Namun demikian, Kemenperin tetap bekerja keras untuk mengurangi impor di sektor industri farmasi.
Sesuai Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan di Indonesia, kementerian dan lembaga terkait harus bersinergi dalam mengembangkan industri farmasi yang mandiri dan berdaya saing.
Industri farmasi telah masuk sebagai sektor tambahan yang mendapat prioritas pengembangan dalam peta jalan Making Indonesia 4.0.
Salah satu BUMN yang berada di klaster farmasi adalah Kimia Farma (KAEF). Tak ingin terus terusan impor, KAEF akan mengembangkan bahan baku obat dari pabriknya di Cikarang. Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo mengatakan, selain menjual obat, KAEF juga akan fokus menjadi produsen bahan baku obat.
KAEF sudah kembangkan pabrik bahan baku obat dari 2016 dan 2019 sudah beroperasi di Cikarang. Harapannya, nanti pada 2023 sekitar 25,8% bahan baku obat diproduksi di dalam negeri. Dia mengatakan, dengan produksi itu, KAEF bisa memasok bahan baku obat ke 82 produsen farmasi. Salah satunya adalah obat korona, nanti kami kembangkan bahan bakunya.