Potensi Migas Non Konvesional Lebih Besar. Begini Faktanya!

MONITORDAY.COM - Peneliti ahli muda di Pusat Survei Geologi Iwan Sukma Gumilar,S.T., M.Sc. menjelaskan bahwa sumber minyak non konvensional terdiri dari Heavy Oil/Oil Sands dan Oil Shale, serta sumber gas non konvensional terdiri dari Tight Gas, Shale Gas, Coal Bed Methane dan Gas Hydrate.
Potensi migas non konvensional jauh lebih banyak dan beragam daripada migas konvensional, namun perkembangan teknologi dan biaya produksi menjadi tantangan untuk mendapatkan migas non konvensional yang berkualitas tinggi. Tantangan teknologi dan biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh karakter dari migas non konvensional yang memiliki permeabilitas rendah dan viskositas yang tinggi.
Sumber minyak non konvensional salah satunya adalah Heavy Oil, yang didefinisikan sebagai minyak yang mempunyai nilai API kurang dari 22% dan nilai viskositas yang sangat rendah sehingga sangat susah untuk di produksi, diperlukan teknologi tinggi contohnya Steam Injector. Selanjutnya Oil Sands adalah hasil percampuran antara pasir, bitumen, lempung dan air.
Bitumen adalah minyak yang memiliki densitas dan viskositas tinggi serta telah mengalami biodegradasi. Sumber minyak non konvensional selanjutnya adalah Oil Shale, merupakan kandungan organic yang masih tersimpan di source rock dan belum matang disebut sebagai kerogen. Kerogen perlu dipanaskan untuk mendapatkan minyaknya, dimana beberapa perusahaan telah mengembangkan metode produksi Oil Shale seperti Shell, Chevron, Exxon dan Mobil.
Sumber gas non konvensional yang terdiri dari Coal Bed Methane, Shale Gas, Tight Gas dan Gas Hydrate. Sumber gas non konvensional memiliki karakteristik yang berbeda dengan gas konvensional adalah seperti akumulasi gas terendapkan pada daerah yang luas, memiliki kondisi geologi yang lebih kompleks dan sumber gas, perangkap, reservoir berada pada lapisan batuan yang sama. Tight Gas memiliki nilai permeabilitas yang sangat rendah, sehingga tidak terjadi migrasi gas ke batuan reservoir dan perlu teknologi seperti Perforation dan Fracturing untuk memproduksi gasnya. Selanjutnya Shale Gas merupakan gas yang terperangkap di shale sebagai gas bebas dan mengisi pori-pori atau rekahan yang tersimpan di fragmen organic.
Coal Bed Methane adalah gas yang tersimpan didalam lapisan batubara, dipengaruhi oleh karakteristik batubaranya, jenis isian gas dan permeabilitasnya. Terakhir adalah gas hydrate, merupakan natural gas yang terperangkap pada air membeku dengan struktur yang solid, berwujud seperti salju atau kristal es. Potensi sumberdaya gas hydrate cukup besar di dunia, berbagai pilot test telah dilakukan di banyak negara, namun sampai saat ini belum ada produksi gas dari sumber gas hydrate.
Pemerintah menyiapkan tiga rencana dalam pengembangan migas non konvensional untuk mendukung pencapaian target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 BCFD pada 2030. Demikian dilansir Antara.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan rencana pertama adalah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2012 agar wilayah kerja (WK) eksisting dapat langsung melakukan eksplorasi maupun eksploitasi tanpa kontrak baru.
"Revisi aturan ini artinya di wilayah kerja yang sama tidak perlu izin baru lagi sehingga sudah bisa melakukan pengusahaan wilayah kerja migas non konvensional. Ini perubahan yang paling mendasar," katanya dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Aturan baru itu diproyeksikan bisa ditetapkan Menteri ESDM Arifin Tasrif setelah Lebaran atau pertengahan Mei 2021.
Rencana kedua adalah pelaksanaan studi migas non konvensional di seluruh wilayah kerja aktif. SKK Migas diharapkan melakukan inventarisasi wilayah kerja eksplorasi atau eksploitasi.
Studi pada wilayah kerja tersebut untuk menentukan tingkat potensi migas non konvensional. Setelah diketahui potensinya, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dapat langsung melakukan pengeboran produksi.
Rencana ketiga adalah pilot project produksi migas non konvensional di wilayah kerja potensial. Pemerintah menargetkan pilot project migas non konvensional dengan aturan baru bisa dilakukan pada tahun ini.
"Pilot project harus dilakukan segera. Kalau tahun ini tidak bisa, paling tidak tahun ini sudah harus bisa menentukan lokasi pilot project dan pengeborannya," kata Tutuka.
Dia menjelaskan ada teknologi yang dapat digunakan untuk pilot project ini, yaitu multi-stage fractured horizontal (MSFH).
Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan dana komitmen kerja pasti (KKP) atau cost recovery. Estimasi biaya per sumur sekitar 22 juta dolar AS.
"Penentuan lokasi pilot project harus dikaji betul karena biayanya sangat mahal. Kami berharap pengeboran ini bisa memperoleh data yang berguna. Kami akan pakai sebagai proof of concept," ujar Tutuka.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, potensi migas non konvensional di Indonesia, yaitu CBM sekitar 453,30 TCF dan shale gas 574 TCF.
Diketahui, migas non konvensional mulai dikembangkan di Indonesia tahun 2008 melalui penandatanganan wilayah kerja Sekayu. Namun, perkembangannya belum menggembirakan.
Dari 54 kontrak wilayah kerja gas metana batu bara yang ditandatangani mulai 2008-2012, saat ini tersisa 20 wilayah eksisting. Sedangkan enam kontrak migas non konvensional yang ditandatangani 2013-2016 hanya menyisakan empat kontrak migas non konvensional eksisting.
Sementara mulai 2017 hingga saat ini tidak terdapat tanda tangan kontrak wilayah kerja migas non konvensional.