Politisasi SARA Terlarangkah?
Jangan sampai istilah ‘Politisasi SARA’ justru sesungguhnya pernyataan politik.

MONDAYREVIEW.COM – Dalam acara pengukuhan dan pelantikan Ketua Umum beserta jajaran pengurus DPP Partai Hanura di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Presiden Joko Widodo menyatakan politisasi SARA sebaiknya dihindari.
“Seperti kita lihat saat ini, ada politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ini harus kita ingatkan, hindari. Banyaknya kebencian, fitnah, saling memaki, menghujat yang kalau kita teruskan bisa menjurus pada pecah belah bangsa kita,” kata Jokowi pada Rabu (22/2).
Menarik garis waktu ke belakang saat serah terima jabatan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menyatakan memilih berdasarkan agama melawan konstitusi.
“Anda melawan konstitusi di NKRI jika memilih berdasarkan agama,” kata Ahok dalam pidato saat serah terima jabatan dengan Plt Gubernur DKI Soni Sumarsono, di Balai Kota DKI Jakarta, Sabtu (11/2).
Pertanyaan besarnya apakah politik harus berlepas dari SARA? Di Amerika Serikat selama ratusan tahun dikenal istilah White, Anglo Saxon, and Protestant (WASP). Muncul sebuah ketentuan tidak tertulis bahwa yang menjadi Presiden Amerika Serikat haruslah seorang kulit putih, dari negara Anglo Saxon (British) dan beragama Protestan. Istilah WASP ini mengalami perkecualian pada sosok John F Kennedy yang seorang Katolik (Presiden Amerika Serikat ke-35). Perkecualian juga terjadi pada sosok Presiden AS ke-44 Barack Obama.
Kemenangan Donald Trump di pemilihan presiden AS pun ditengarai dari kemampuannya mengoptimalisasi isu White Supremacy. Bahkan negara sekaliber Amerika Serikat pun ternyata masih mendasarkan pilihan berdasarkan SARA.
Tokoh Masyumi Mohammad Natsir pernah mengungkapkan dipisahkannya Islam dari politik.
“Islam beribadah, dibiarkan. Islam berekonomi, akan diawasi. Islam berpolitik, akan dicabut sampai ke akar-akarnya,” kata Mohammad Natsir tokoh yang berperan dengan Mosi Integral bagi persatuan Indonesia.
Pertanyaannya apakah politisasi SARA yang digunakan umat Islam dibolehkan? Tentu jika politisasi SARA digunakan dalam frame menebarkan kebencian, saling memaki, menghujat, hal tersebut tentu terlarang. Namun, jika memilih berdasarkan ajaran agama tentu diperbolehkan dan sesuatu yang dilindungi konstitusi. Pasal 29 ayat 2 menyebutkan ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu’. Dan di antara ajaran agama Islam adalah tentang kepemimpinan dan memilih pemimpin.
Maka terminologi ‘Politisasi SARA’ harus ditempatkan dengan proporsional. Karena Suku, Agama, Ras, Antargolongan sesungguhnya sesuatu yang melekat pada diri. Jangan sampai istilah ‘Politisasi SARA’ justru sesungguhnya pernyataan politik. Untuk menanggalkan sesuatu yang sesungguhnya telah melekat ataupun mendulang keuntungan sebagai korban dari politisasi SARA.