Polemik Reforma Agraria dan Ancaman Negara Gagal
Meski dikritik sana sini, Jokowi urung menghentikan bagi-bagi sertifikat yang katanya 'pengibulan'.
MONDAYREVIEW.COM - Meski dikritik sana sini, Jokowi urung menghentikan bagi-bagi sertifikat yang katanya 'pengibulan'. Dalam kunjungan kerjanya ke Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Jokowi bahkan dengan sengaja meminta ribuan penerima seritifikat di Gor Rudy Resnawan, mengangkat tinggi-tinggi sertifikat yang mereka terima.
“Sertifikat yang sudah diserahkan diangkat tinggi-tinggi,” kata Presiden Jokowi.
“Biar kelihatan semuanya bahwa sertifikat sudah diserahkan dan betul-betul sertifikat ini sudah menjadi milik bapak/ibu sekalian bukan pengibulan,” ucap Presiden Jokowi. Sontak para penerima sertifikat pun tertawa mendengar penyataan Presiden.
Selepas memberi sambutan, Jokowi lalu menuturkan, bila dirinya hanya ingin menekankan saja, bahwa pembagian sertifikat itu betul-betul dibagikan benar, jumlahnya ada dan masyarakat juga menerima betul. Jokowi juga mengatakan, bila dirinya meminta para penerima sertifikat untuk mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Ini dilakukan supaya benar-benar terlihat, berapa yang diserahkan.
“Kalau kita ngomong lima juta ya lima juta, kalau kita ngomong tujuh juta ya tujuh juta, dan itu memang saya target bagi menteri ATR/BPN. Jangan sampai ada yang ngomong pembagian sertifikat itu ngibul,” ujar Jokowi.
Baik Jokowi, maupun para pembantunya di kabinet, tetap pada pendiriannya bila apa yang mereka berikan kepada masyarakat bagian dari program reformas agrarian. Bagi pemerintah, setelah tanah dilengkapi sertifikat maka akan menjadi bankable, bisa diagunkan ke bank untuk mendapatkan pinjaman dana. Bahkan, tiap kali menggelar acara pembagian sertifikat di berbagai daerah, peluang ini selalu diingatkan Jokowi.
Namun, meski pembagian sertifikat tanah tersebut telah dijelaskan ragam manfaatnya, kontroversinya seolah tiada henti. Amien Rais bahkan sempat menyinggung soal kepemilikan tanah 74 persen dikuasai oleh segelintir orang. Pernyataan Mantan Ketua MPR ini, memicu banyak reaksi. Ia pun dianggap asal bicara tanpa menggunakan data yang jelas.
“Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Inia pa-apaan?” ujar Amien ketika menjadi pembicara dalam diskusi ‘Bandung Informal Meeting’ yang digelar di Hotel Savoy Homman, jalan Asia Afrika, Bandung, Minggu (18/3/2018).
Atas klaim Amien tersebut, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pun bereaksi sangat keras. Dirinya tak terima Presiden Jokowi dibilang ‘mengibuli’ masyarakat dengan membagi-bagi sertifikat tanah.
Munculnya reaksi keras dari beberapa pembantu Jokowi di kabinet, ditengarai juga karena Amien Rais tengah melakukan manufer politik dengan melontarkan kritik atas program pembagian sertifikat Jokowi.
Ini nampak, dari pernyataan orang-orang terdekat Amien bahwa apa yang disampaikannya tersebut, berdasarkan data dari Megawati Institute. Politisi PDIP Hendrawan Supratikno, menyebut Amien Rais dan PAN sesungguhnya membuka tabir di balik maksud kritiknya sendiri, yaitu sekadar bersilat politik untuk kepentingan 2019.
‘Yang jelas dengan manufer studi MI, PAN dan Amien ‘menghemat tenaga’ dalam bersilat politik,” ujar Ketua DPP PDIP Bidang Ekonomi ini.
Menurut Professor ekonomi ini, data tersebut merupakan data tahun 2013. Bahkan elite-elite PDIP sendiri telah mengkritik hasil riset lembaga think tank Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
“Yang dipaparkan Megawati Institute itu on going research. Jadi belum hasil akhir. Soal fenomena kesenjangan, itu soal lama, bukan baru lahir era Jokowi,” ujar Hendrawan.
Jika sudah begini, maka nyatalah klaim bahwa sejarah land reform sejak awal kemunculannya di era Lenin, memang sekadar untuk kepentingan politik semata. Reforma agrarian, sejatinya hanyalah upaya penguasa atau kekuatan politik untuk memikat hati rakyat dan para petani. Lalu sekiranya rakyat dan petani telah memihak kepada mereka, perlahan mereka pun mulai dilupakan. Seperti terjadi di Zimbabwe, selama puluhan tahun, land reform telah melanggengkan kekuasaan Mugabe. Lalu, ketika kekuasaan menjadi kian absolut, sementara para petani tak memiliki kuasa, tanah pun tiada arti. Zimbabwe porak poranda, petani tak sanggup menghadapi kuasa modal, sementara negara menjadi net importir kebutuhan pangan.
[Mrf]