PLN dan Green Loan untuk Energi Baru Terbarukan

Tren global energi ramah lingkungan semakin menguat. Para investor melihat betapa strategisnya sektor energi ini di masa yang akan datang. Semakin terbatasnya ketersediaan energi fosil dalam jangka panjang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkannya.

PLN dan Green Loan untuk Energi Baru Terbarukan
Salah Satu Pembangki PLN/ Web PLN

MONDAYREVIEW.COM – Tren global energi ramah lingkungan semakin menguat. Para investor melihat betapa strategisnya sektor energi ini di masa yang akan datang. Semakin terbatasnya ketersediaan energi fosil dalam jangka panjang menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkannya.

PLN menjadi BUMN pertama yang menjajaki skema pinjaman baru. Skema tersebut dikenal dengan  transaksi pinjaman 'green loan' sekaligus menjadi yang pertama yang diperoleh BUMN di Indonesia dan yang pertama kali dieksekusi oleh PLN. Menurutnya, dukungan ini akan PLN khususkan untuk pendanaan jangka panjang Energi Baru Terbarukan (EBT) dan infrastruktur kelistrikan yang ramah lingkungan.

Indonesia menjadi salah satu tujuan investor terkait pembangunan infrastruktur dan pengembangan energi. PT PLN (Persero) memperoleh pinjaman US$ 500 juta atau sekitar Rp 7 triliun (asumsi kurs Rp 14.100 per US$) dari sejumlah perbankan internasional dan dijamin oleh Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) sebagai salah satu grup Bank Dunia.

Adapun para kreditur untuk fasilitas pinjaman ini antara lain adalah Citibank, DBS Bank, JPMorgan, KfW IPEX, LBBW, OCBC, Standard Chartered Bank dan SMBC.

Melalui program perdana bertajuk Non-Honouring of Finansial Obligation by State-Owned Enterprise (NHFO-SOE), MIGA akan menjamin 95% pembiayaan selama lima tahun ke depan.

Transaksi ini juga merupakan transaksi pertama MIGA dengan menggunakan skema NHFO-SOE dan merupakan transaksi pertama dalam masa pandemi, baik di Indonesia maupun di regional. Dalam periode likuiditas dan pasar pinjaman yang serba sulit, PLN berhasil mengupayakan tercapainya efisiensi biaya dalam keuangan dengan menerapkan struktur yang dirancang untuk menarik kreditur internasional.

Dirinya menambahkan, dukungan ini diperoleh dalam waktu yang cukup singkat, yakni hanya kurang lebih lima bulan meskipun transaksi ini merupakan transaksi PLN pertama kali untuk 'green loan' dan 'MIGA Guaranteed' dengan skema yang cukup kompleks.

Menurutnya, penetapan harga telah dinegosiasikan dengan kreditur sejak awal Juli, setelah proses tender yang menyeluruh dengan harga sekompetitif mungkin meski di masa pandemi. Langkah ini merupakan tindak lanjut PLN dalam mewujudkan kerangka keuangan yang berkelanjutan (Sustainable Financing Framework) yang telah di-launching secara resmi pada 2 November 2020 lalu dan merupakan agenda nyata dari transformasi PLN (Lean, Green, Innovative & Customer Focused).

Saat ini menurutnya PLN sedang dan terus bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan yaitu lembaga bilateral maupun multilateral untuk mewujudkan berbagai inisiatif 'green energy' dan meningkatkan rasio energi baru terbarukan di seluruh Indonesia.

Perusahaan penyedia energi baru terbarukan (EBT), PT Kencana Energi Lestari Tbk akan terus berupaya untuk mengembangkan energi terbarukan di Indonesia seiring dengan tren global yang menuju energi yang ramah lingkungan.

Kalau di luar negeri pada 2050, pembangkit fosil nonaktif. Indonesia bisa kalau kita serius mengembangkan potensi energi hijau yang kita miliki. Demikian menurut Wakil Presiden Direktur Kencana Energi Lestari, Wilson Maknawi.

Indonesia, lanjut dia, merupakan negara dengan potensi EBT yang melimpah. Dengan demikian tidak perlu khawatir pasokan EBT berkurang bila pembangkit fosil dinonaktifkan satu saat nanti.

Untuk mencapai energi yang ramah lingkungan, menurut Wilson, pemerintah bisa membuat kebijakan yang mendukung pemanfaatan energi ramah lingkungan, salah satunya dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk proyek EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).

Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH).

Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengharapkan Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) bisa menjawab investor yang menginginkan kepastian hukum terkait sektor tersebut.

RUU EBT yang saat ini masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021 harus mampu menjawab kebutuhan investor agar mereka nyaman berinvestasi di sektor energi terbarukan. Akan banyak terdapat pilihan skema pendanaan pengembangan EBT jika aturan main, baik UU maupun produk hukum turunannya, mampu memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang dibutuhkan investor.

Harus ada keberpihakan yang jelas melalui berbagai kebijakan pemerintah jika ingin target pengembangan EBT lebih cepat terealisasikan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Peraturan Presiden No 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada 2025, peran EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan mencapai 23 persen dan diharapkan terus meningkat menjadi 31 persen pada 2050.