Pilkada Jakarta dan Blunder Politik Demokrat
Sikap ragu dan kesan mengamankan elit partai, akan menggerus suara Partai Demokrat pada Pileg 2019.

MONDAYREVIEW.COM- Keputusan Partai Demokrat memilih sikap netral pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua menambah pekerjaan berat bagi dua pasangan calon. Pasalnya Partai Demokrat terbilang memiliki basis masa yang solid pada Pilkada putaran pertama.
Berdasarkan hasil temuan survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia Februari lalu menunjukan Partai Demokrat yang memiliki suara sebesar 12,9 persen pada pemilihan legislatif 2014 lalu memiliki basis massa yang solid mendukung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebesar 57,4 persen. Hal ini membuktikan bahwa figur Susilo Bambang Yudhoyono masih memiliki magnet yang besar bagi basis masa Partai Demokrat.
Lebih lanjut, pada temuan survei Indikator Politik Indonesia mengungkapkan pekerjaan berat akan dialami oleh pasangan Basuki Tjahaja Purnama- Djarot Syaiful Hidayat. Pasalnya berdasarkan temuan survei tersebut menjelaskan bahwa basis masa partai koalisi pendukung pasangan Agus-Sylvi ternyata tidak solid pada pilkada putaran pertama. Justru memberikan dukungannya kepada pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Basis masa dari PKB sebesar 45,6 persen menjatuhkan pilihannya kepada Anies- Sandi, basis masa PAN sebesar 61,8 persen juga mengalihkan dukungannya kepada paslon nomor 3. Hal senada juga terjadi pada basis masa PPP sebesar 50,3 persen menjatuhkan pilihannya kepada pasangan yang diusung oleh koalisi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Ditambah lagi kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama yang pastinya akan memperngaruhi peta politik pada Pilkada DKI Jakarta. Kasus penistaan agama yang terus bergulir secara langsung menggerus tingkat elektabiltas pasangan Ahok-Djarot.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indokator Politik Indonesia vonis Ahok telah melakukan penistaan agama Islam memiliki konsuensi elektoral yang sangat negatif bagi pasangan Ahok-Djarot. Hal tersebut telah terbukti dengan hasil pilkada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot tidak dapat mampu maraih suara elektoral mutlak sebesar 50 persen lebih. Seperti yang terus digembor-gemborkan partai pengusung, PDI Perjuangan.
Namun, melihat pola seperti menurut hemat penulis secara langsung tidak akan meringankan langkah pasangan Anies-Sandi. Perlu kerja keras dan cerdas guna memuluskan langkahnya menjadi pemenang dalam gelaran pilkada yang penuh gengsi ini. Karena pemilih DKI Jakarta adalah pemilih rasional. Maka dibutuhkan program-program yang jelas dan visioner untuk menyelesaikan permasalah ibu kota yang semakin komplek.
Blunder Politik
Menurut hemat penulis sikap netral Partai Demokrat pada gelaran Pilkada DKI Jakarta putaran kedua merupakan langkah politik yang kurang tepat. Seperti kita cermati bersama, kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini dari kasus penistaan agama yang telah dilakukan oleh Ahok, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kutub, yaitu pro dan kontra.
Sikap netral tersebut justru akan menggerus suara Partai Demokrat pada pemilihan legislatif 2019 mendatang. Bisa jadi, basis masa partai Demokrat akan berpindah ke partai lainnya yang dinilai memiliki ketegasan dalam mengambil sikap. Dengan sikap seperti ini justru akan semakin menegasskan kesan yang telah terbangun bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono adalah sosok yang peragu dan tidak tegas dalam bersikap.
Selain itu, sikap netral Partai Demokrat semakin menegaskan penilaian publik bahwa pertemuan antara Susilo Bambany Yudhoyono dan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu di Istana Merdeka tidak hanya membicarakan persoalan-persoalan kebangsaan. Tapi, ada kesepatan politik terkait pilkada DKI Jakarta. Serta kesepakatan untuk mengamankan dirinya terkait kasus kriminalisasi terhadap mantan ketua KPK, Antasari Azhar.
Seperti kita ketahui bersama, pada Pilkada putaran pertama Antasari melakukan manuver politik dengan menyerang langsung pribadi SBY. Dia mengungkapkan bahwa SBY memiliki peran kriminalisasi terhadap dirinya. Bahkan ia meminta kepada SBY untuk berterus terang kepada publik. Serangan tersebut terbukti sangat ampuh menjunggalkan pasangan Agus-Sylvi, sehingga tidak dapat masuk pada putaran kedua.
Mencermati sikap di atas, menurut hemat penulis Partai Demokrat telah melakukan blunder politik. Masyarakat sejati membutuhkan partai Politik yang jelas dan tegas dalam bersikap. Selain itu masyarakat juga membutuhkan partai politik yang bersih dari prilaku-prilaku elit politik yang bersih dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Sikap yang ditunjukan Partai Demokrat terkesan bahwa sosok Ketua Umumnya benar-benar terlibat dalam kasus kriminaliasi terhadap mantan Ketua KPK, Antasari Azhar. Ditambah lagi dengan kasus korupsi yang kerap melibatkan kader-kader Partai Demokrat baik yang diduduk menjadi anggota dewan dan elit partai.
Seperti pada kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) sejumlah nama besar dari Partai Demokrat ikut menikmati dana e-KTP. Sebut saja Mantan Ketua Umm Partai Demokrat Anas Urbaningrum 5,5 juta dolar AS, Mirwan Amir 1,2 juta dollar AS, Ignatius Mulyono 258.000 dollar AS, Taufik Efendi 103.000 dollar AS, Khatibul Umum Wiranu 400.000 dollar AS, M Jafar Hapsah 100.000 dollar AS, Marzuki Ali Rp20 miliar.