Perwira TNI-Polri dalam Pusaran Pilkada 2018
Partai politik kembali melirik para perwira TNI dan Polri untuk ikut pertarungan politik dalam Pilkada 2018. Apakah fenomena ini kemajuan dalam demokrasi atau kemunduran?

MONDAYREVIEW, Jakarta -- Dinamika Pilkada serentak 2018 diwarnai majunya para kandidat dari anggota TNI dan Polri yang masih aktif. Majunya para anggota dinilai akan mencederai nilai-nilai demokrasi.
Sampai saat ini ada lima perwira TNI dan Polri yang mencalonkan dalam bursa Pilkada 2018. Mereka adalah Pangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi di Sumatera Utara. Irjen Safaruddin untuk Pilkada Kalimantan Timur, Irjen Anton Charliyan untuk Pilkada Jawa Barat, Irjen Murad Ismail untuk Pilkada Maluku, dan Kapolda Sumatera Utara Irjen Paulus Waterpauw, di Pilkada Papua.
Keterlibatan anggota militer dalam kancah politik telah diatur dalam Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004 dan Undang-Undang Polri Nomor 2 tahun 2002. Keduanya menegaskan anggota aktif tak boleh berpolitik.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriani menyatakan feneomena ini, selain mencederai tatanan demokrasi nasional juga sangat mengganggu agenda reformasi pada sektor keamanan dan penegakan hukum. "Majunya anggota dalam Pilkada 2018 mempertegas satu potensi mundurnya demokrasi dan supremasi sipil," kata Yati, Selasa (9/1/2018) di Kantor KontraS, Kramat Raya, Jakarta Pusat. Yati menilai, langkah partai politik menggaet calon dari kalangan militer akan menggoda anggota militer untuk kembali terlibat dalam politik aktif.
Direktur Imparsial, Al Araf menambahkan, parpol seharusnya pahami capaian reformasi 1998 yang telah mengeluarkan militer dari lingkaran kekuasaan. Parpol sebagai pilar demokrasi memiliki peran penting tidak membiarkan anggota militer aktif terlibat dalam proses politik. Kelemahan dalam undang-undang Pilkada yang mengharuskan pendaftarkan lebih dulu di KPUD. “Mestinya tidak boleh jadi dalih anggota aktif ikut kampanye politik sebelum menundurkan diri, “ jelas Al Araf.
Sementara itu, Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar berpendapat ada dua makna terkait aktifitas politik anggota TNI dan Polri. Politik pasif dan politik aktif. Isu tentang politik pasif ini, lanjut Wahyudi, sudah bergulir sejak era Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dua tahun lalu, yang ingin menghidupkan kembali partisipasi politik pasif anggota dalam pemilu.
Wahyudi menilai, fenomena hari ini lebih parah dengan terlibatnya anggota dalam kontestasi Pilkada secara terang-terangan. Mereka dipakaikan seragam partai, dideklarasikan jadi kontestan pilkada dan seterusnya. Padahal, pada awal reformasi, para anggota parlemen sepakat untuk mengeluarkan militer dari partisipasi proses demokrasi.
Kemudian TNI dan Polri diminta fokus menjaga ketahanan negara dan kemanan dalam negeri. Maka, dibuatlah perangkat peraturannya mulai TAP MPR Nomor 6, TAP MPR Nomor 7 tahun 2000 hingga UU TNI dan Polri. Tetapi , menurut Wahyudi, hari ini justru parpol yang dulu mendorong TNI supaya profesional dan kembali ke barak malah membuka pintu lebar-lebar untuk TNI dan Polri dalam partisipasi aktif.
Para perwira TNI atau pun Polri boleh saja berkilah, kontribusi mereka dibutuhkan untuk membangun bangsa ini. Lalu, bagaimana pilihan masyarakat? Jangan sampai upaya untuk membangun kader pemimpin dari kalangan sipil, dipasung oleh kita sendiri. (Suandri Ansah)