Pertarungan Politik Pragmatis

Probowo Subianto masih mempertimbangkan berbagai kekuatan dan kepentingan, sebelum mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden. Lalu, siapa yang layak mendampingi Prabowo?

Pertarungan Politik Pragmatis
Prabowo Subianto

MONDAYREVIEW- Siapa yang berani lawan Jokowi? Di atas kertas, hanya Prabowo Subianto yang sanggup. Koalisi PKS-Gerindra sudah cukup memenuhi syarat presidential threshold. PKS memiliki 40 kursi dan Gerindra 73 kursi yang jika ditotal berjumlah 112, artinya  20 persen kursi dari 560 (total kursi DPR), sudah cukup untuk mengusung capres dan cawapres pada Pilpres 2019.

 

Coba bandingkan dengan 5 partai peserta pemilu yang mengusung Jokowi sebagai Capres di Pilpres 2019. Partai-partai itu adalah, PDIP, Hanura, PPP, Nasdem, dan Golkar.  Pada Pemilu legislatif 2014, total perolehan suara lima partai itu mencapai 52,2 persen dari pemilih yang mencapai 124 juta. Di atas kertas Jokowi akan menang mutlak.

 

Belum lagi, jika Jokowi dan PDIP mau mengakomodir koalisi dengan Partai Demokrat, dengan menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden, kemudian menawarkan sejumlah jabatan menteri kepada PKB. Mungkin, Muhaimin Iskandar rela mengurungkan niatnya untuk menjadi wakil presiden.

 

Hingga kini, belum ada deklarasi resmi tentang kesiapan Prabowo sebagai penantang Jokowi. Meskipun, DPD Gerindra DKI Jakarta sudah mencuri start untuk mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres), dalam perayaan HUT ke-10 Gerindra, Ahad kemarin.

 

Prabowo memang tidak datang, dan hanya diwakili Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani. Menurut Muzani, sampai saat ini Prabowo masih mempertimbangkan sejumlah hal sebelum memutuskan langkahnya pada Pilpres 2019.  "Beliau [Prabowo] masih berfikir apakah beliau sanggup memimpin bangsa di tengah-tengah masalah yang begitu berat," kata Muzani.

 

Prabowo cukup tahu diri, tidak mau mengalami kekalahan yang kedua kalinya. Untuk bisa menjadi pemenang, posisi calon wakil presiden yang mendampinginya begitu sangat krusial, untuk mengdongkrak perolehan suara. Lalu, siapa yang paling cocok mendampingi Prabowo?

 

 

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar sudah mengkampanyekan dirinya, sebagai calon wakil presiden. Jika dipinang Prabowo, pola koalisinya sama dengan koalisi Gerindra PKB di Jawa Timur,  yang mengusung  Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno, sementara di Jawa Tengah mereka mencalonkan pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah. Koalisi ini juga didukung PKS

 

Kemenangan Pilkada Jatim dan Jateng jadi kunci untuk menaikan daya tawar Muhaimin. Namun, pola ini bisa jadi berbeda di tingkat nasional. Apalagi, PKS  tidak kehilangan kesempatan,  dan lebih dulu menawarkan kader-kadernya, seperti Achmad Heryawan (Aher) sebagai calon presiden.

 

Demokrat bisa saja berbalik arah, jika tawarannya kepada PDIP tak menemukan kesepakatan. Demokrat bisa saja bergabung dengan Gerindra-PKS atau membuat kubu poros baru, dengan menarik PAN dan PKB. Elektabilitas AHY (Demokrat), Zulkifli Hasan (PAN) dan Muhaimin Iskandar (PKB) memang kecil, belum bisa bisa meyakinkan mampu bertarung melawan Jokowi.

 

Namun, Politik di Indonesia begitu dinamis. Kawan bisa jadi lawan, sebaliknya lawan pun bisa berubah menjadi kawan, karena konon dalam politik itu yang abadi adalah kepentingan. Peta politik di Pilkada tidak bisa dijadikan rujukan di tingkat nasional. Bisa saja PKB, PKS dan Gerindra berkoalisi di Pilkada, tapi bersebrangan ketika Pilpres.

 

Fenomena ini, menurut pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, bukanlah hal yang aneh. Karena itu,  koalisi di daerah untuk Pilkada 2018 tidak akan bertahan hingga Pemilu 2019, khususnya di pemilihan presiden. Alasannya, konstelasi akan berubah seiring berjalannya proses politik.

 

Ongkos politik begitu tinggi untuk bertarung di Pilkada maupun Pilpres Tokoh yang dicalonkan pun tidak perlu lagi dari internal dan kader partai, bisa saja merekrut dari tokoh masyarakat. Karena,  targetnya yang terpenting sang kandidat mampu merauh suara terbanyak dan  menjadi pemenang. Akhirnya, siapa pun baik dari kalangan artis, aktivis, atau tokoh agama bisa dicalonkan menjadi kepala daerah atau presiden

 

Inilah bentuk pragmatisme politik.  Tidak ada partai politik yang benar-benar ideologis, dengan kekuatan visi dan misi perjuangannya. Koalisi yang dibangun antar partai pun, bersifat jangka pendek dan lebih berorientasi pada kekuasaan. Jualan program partai kepada rakyat pun menjadi tidak penting lagi.

 

Indonesia yang menganut multi partai, dianggap bisa mengakomodir kemajemukan masyarakatnya, Partai politik hanya menjadi media untuk menyalurkan aspirasi kelompok yang beragam, meskipun jargon yang diusung partai politik sebenarnya tak jauh berbeda. Misalnya, mereka mengklaim sebagai partai yang peduli rakyat kecil, dan bercita-cita ingin membangun kemandirian ekonomi rakyat.

 

Karena, pragmatisme politik inilah...jangan kaget, jika Prabowo tiba-tiba bersedia untuk mendampingi Jokowi menjadi calon wakil presiden.

 

Rakyat pasti kecewa dan hanya bisa menanti, siapa yang akan muncul  sebagai penantang sejati Jokowi.