Perjalanan Ke Merauke (Bagian 2)
Selain mengikuti misi sosial Aksi Cepat Tanggap (ACT), kami pun menikmati malam minggu di Merauke
MONDAYREVIEW-Merauke, Pelabuhan Pintu Air Merauke sedang sibuk. Buruh-buruh pelabuhan berpeluh mengangkut berkarung-karung beras dari truk ke kapal, ada 100 ton yang harus mereka pindahkan.
Cuaca yang terik semakin memanaskan semangat buruh. Rata-rata mereka mampu membawa tiga sampai empat karung beras di atas punggungnya.
Beras itu merupakan paket bantuan tim kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk korban gizi buruk dan campak di Asmat.
Pagi itu, Sabtu (3/2/2018) Presiden ACT Ahyudin akan meresmikan pemberangkatan Kapal Kemanusiaan menuju Asmat. Hadir juga Kepala Bulog Sub Divre Mereuke, Yudi Wijaya, Kapolsek Kawasan Pelabuhan Laut Merauke AKP Horas Nababan, dan Anggota DPRD Papua Kusmanto.
Saya dan teman-teman media ikut sibuk menyiapkan peralatan liputan. Rekan saya yang pewarta televisi RTV, Trans Tv dan RCTI sigap mendirikan tripod, memasangnya pada angle yang dirasa sempurna di depan panggung acara. Di samping panggung beberapa anak-anak sedang bermain dan bercanda.
"Saya kita ini bisa menjadi menjadi momentum baik, karena dari pelabuhan ini akan berangkatkan 100 ton logistik bagi suadara kita di Asmat," kata Ahyudin.
Ahyudin mengatakan, beras-beras itu disuplai dari Merauke. Pada 2016, produksi beras Merauke surplus. Produksinya mampu mencapai 136.500 ton dari target 30.000 ton.
"Merauke lumbung beras nasional, mudah mudahan tahun depan beras di Papua nomor satu," imbuh Ahyudin.
Usai acara, saya mengelilingi sebagian pelabuhan. Areanya tidak besar, hanya ada belasan kapal kayu ukuran medium bersandar. Airnya berwarna coklat, sampah-sampah juga "bersandar" di tepinya.
Di tepi pelabuhan, beberapa anak asyik berenang. Byurrr!! mereka berlomba-lomba masuk ke air. Salto, jungkir balik. Beacam-macam gaya mereka oerlihatkan.
Sepasang anak sedang bermain dengan saringan ikan, "Ada ikannya, kah?," tanya saya. "Ada Kaka," mereka malu-malu menjawab, lalu mengangkat saringnya dari dalam air, kosong tak ada 'muatan'.
Seorang anak kecil hanya berdiri di tepian, mengibar-ngibarkan pakaiannya. Saya taksir umurnya sekitar 5 tahun. Dia tertawa melihat aksi teman-temannya.
"Dia tidak bisa berenang," saut temannya saat saya mendorongnya beraksi seperti anak lainnya. Dia tertawa malu-malu. Saya melanjutkan memotret aksi para generasi muda Papua. Lautan menempa mereka jadi manusia tangguh.
Berhari-hari kami berada di Merauke, untuk mengikuti misi sosial yang dilakukan ACT, sekaligus menikmati kota ini. Bagi kami para wartawan, setiap perjalanan selalu ada kisah yang layak kami tulis
Malam Minggu di Merauke
Terik pagi di Merauke lebih menyengat dibanding ibu kota Jakarta, Sabtu (3/2/2018). Hanya saja, tidak ada polusi udara di sini. Meskipun ibu kota, jalan-jalan di sini relatif sepi pada siang hari.
Pada malam hari, Merauke sungguh "krik-krik", kecuali malam libur atau malam Minggu. Layaknya Jakarta, muda-mudi bertebaran meramaikan malam. Kebetulan, usai peliputan di siang hari, saya diajak jalan-jalan menikmati malam.
Usai Isya, saya dan seorang rekan jurnalis bernama Zuhdi, dijemput dua orang kawan di hotel tempat kami menginap di Jalan Kampung Timur. Saya ingin menikmati Sabtu malam di Merauke.
Mereka yang menjemput saya adalah Akbar, seorang guru SDIT di Merauke. Akbar kuliah di Ma’had Utsman Bin Affan, Jakarta. Kini, saatnya dia mencerdaskan generasi muda Merauke. Dia asli Bugis Makassar, tetapi lahir dan besar di Kota Rusa itu.
Satu lagi menemani kami, Irfan seorang siswa SMA Muhammadiyah. Irfan juga seorang transmigran dari Jawa, tetapi lahir di Merauke. Sampai sekarang ia mengaku belum pernah "mudik" ke Jawa.
Menggunakan sepeda motor, kami mengelilingi tempat-tempat menarik terdekat. Lewat Jalan Mandala kami menjumpai tempat-tempat berikut: Tuguera (Tugu Perjuangan Pembebasan Rakyat), RSUD Merauke dan Rumah Sakit Angkatan Laut. Gedung Negara.
Kodim 1707/Merauke, makam pahlawan Trikora dan Jalan Para Komando, dan terakhir ke Masjid Al Aqsha, masjid raya warga Merauke.
Akbar pernah menjadi Ketua Remaja Masjid di sini. Saat ini, Akbar aktif sebagai Sekretaris Umum di Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid se-Indonesia Kota Merauke (BKPRMI).
Akbar mengatakan, tantangan dakwah di Merauke adalah rawan pendangkalan aqidah, namun letaknya rata-rata di pedalaman bukan di perkotaan.
Di sepanjang jalan banyak ditemui pedagang pecel lele, pedagang, sate, dan semisalnya. Lalu toko buah, toko yang menjual kulit buaya juga ada. Jelang larut malam, kami mengakhiri petualangan. Minggu (4/3/2018) saya kembali melanjutkan perjalanan, meliput daerah perbatasan Merauke-Papua New Guenia.
Merauke adalah salah satu kota yang dianggap sukses dalam program transmigrasi di Papua. Masuknya masyarakat Jawa ke daerah ini ternyata mampu mengoptimalkan potensi alamnya.
"Di sini kebanyakan warga transmigran, Mas. Warga asli biasanya tinggal di daerah-daerah khusus biar ga konflik," kata Alex warga Magelang yang sudah lama menetap di Merauke.
Ia menceritakan, pertama kali ke Papua saat umurnya 18 tahun bersama kakaknya. Saat ini, dirinya dan sang kakak membuka usaha sewa mobil untuk pendatang, turis, maupun pejabat pemerintah yang tengah berkunjung.
Kabupaten ini termasuk salah satu lumbung beras nasional. Tahun 2016 lalu, produksi beras di sini mencapai 136.500 ton dan mampu memenuhi kebutuhan beras di dalam dan luar Papua.
Sakiman, transmigran dari Cilacap adalah seorang juragan beras. Dia mengelola penggilingan beras di daerah Semangga Jaya. Dia punya sawah pribadi seluas tiga hektar.
Pengolahan beras miliknya diberi nama Sri Rejeki. "Dari tahun 1990 saya menekuni usaha pengolahan beras. Dulu tani, sekarang pun masih, kok," katanya.
Ada 6 lokasi penggilingan di Semangga Jaya. Miliknya adalah yang terbesar. Per hari, penggilingan miliknya mampu menghasilkan 20 ton beras. "Penggilingan ini berdiri tahun 2005," imbuhnya.
Sakiman bercerita, untuk mendirikan penggilingan ini dia meminjam dana dari bank. Ia membeli mesin penggiling sederhana dengan mekanisme engkol. Saat ini ada 12 petani yang bekerja dengan Sakiman.
"Petani umumnya transmigran, orang asli nonton saja, atau mereka jual tanah," kata Sakiman. Pekerja diberi upah berupa beras sebanyak 10 persen dari penghasilan total.
Namun, malang bagi Sakiman, tahun ini pendapatannya turun. "Tahun ini harusnya lebih bagus, tetapi masalah pupuk telat, ga ada," tuturnya. Petaninya menggunakan pupuk subsidi.
Sakiman melanjutkan, penyuplai pupuk beralasan transportasinya belum ada. Padahal, pupuk sangat berarti bagi petani seperti Sakiman. Kejadian itu tentu berimbas pada penurunan produktifitas padi.
Saat disinggung soal impor beras, Sakiman hanya tertawa, "Di sini ndak berpengaruh," katanya. Sebab sebagian besar wilayah di Papua menggantungkan urusan perutnya ke Merauke.
"Kita biasa suplai ke Timika, Jayapura lewat Bulog. Stok beras Mereuke aman bahkan mencukupi hingga Manokwari," tuturnya.
Sakiman mengungkapkan tak ada spekulan beras. Stok beras, harga dan distribusi diatur oleh Bulog.
"Kita kirim juga keluar Kabupaten Merauke seperti ke Tanah Merah, ke Asmat juga kadang-kadang pakai kapal," imbuhnya.
Warung-warung sekitar maupun masyarakat juga biasa membeli langsung ke penggilingan miliknya. Per kilogram dihargai Rp9000.
editor: elbach