Perang Batin Konsultan Pajak Dalam Self- Assesment

MONITORDAY.COM - Konsultan Pajak seringkali dihadapkan pada suatu bentuk dilema. Berdasar penelitian oleh Dewi (2019), konsultan pajak yang diharuskan membantu dan membimbing wajib pajak untuk patuh dan taat kepada peraturan, dalam hal ini membantu pemerintah (goverment supporter), atau seringkali dihadapkan dengan rasa simpati dan ingin membantu wajib (taxpayers’ ally/non-pemerintah) pajak untuk meminimalkan beban pajak, bahkan dengan cara ilegal.
Hal ini yang harus diwaspadai oleh pemerintah maupun konsultan pajak itu sendiri.
Namun, tidak semua konsultan pajak akan lebih memilih keuntungan bisnis dibanding ‘keuntungan kolega’, yang akan didapat ketika lebih berpihak kepada pemerintah.
Keberpihakan ini dilakukan oleh konsultan pajak yang bekerja dengan tulus untuk meningkatkan tax compliance rates dan penerimaan pajak di Indonesia.
Ditinjau dari perspektif teori etika teleologi, yang baik dan buruknya tindakan seseorang dilihat dari tujuan serta akibatnya, tindakan konsultan pajak yang lebih memihak pemerintah dengan mematuhi peraturan merupakan tindakan yang dinilai baik serta sejalan dengan hukum.
Keberpihakan ini dinilai sesuai dengan etika teleologi karena membawa manfaat untuk lebih banyak pihak, dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia.
Sebaliknya, tindakan konsultan pajak yang lebih memilih untuk melakukan penyelewengan demi membawa keuntungan kepada seorang wajib pajak dinilai tidak sesuai dengan etika teleologi serta menyalahi hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, dalam mengatasi dilema etika konsultan pajak, pemerintah perlu melakukan penguatan kebijakan terkait peningkatan kepatuhan wajib pajak, peningkatan kredibilitas di mata wajib pajak, serta penetapan kebijakan calon pekerja profesional untuk lulus dari pendidikan etika bisnis sebelum terjun ke dunia kerja.
Dengan keahlian yang dimiliki konsultan pajak dalam melakukan tax planning, dapat memungkinkan bagi seorang konsultan pajak untuk melakukan suatu bentuk ketidakpatuhan yang mengarah ke tax evasion. Namun, konsultan pajak tetap bisa menjaga netralitasnya dengan berada di antara pemerintah dan wajib pajak, atau dapat disebut sebagai hybrid agents (Gunadi et al., 2019).
Dalam menjalankan kewajibannya, konsultan pajak memiliki suatu pedoman dalam melakukan tindakan yang memuat mengenai integritas, martabat, dan kehormatan konsultan pajak dalam melaksanakan profesinya, yaitu Kode Etik Konsultan Pajak.
Peran penting pajak
Pajak memiiliki peranan penting bagi negara karena sebagian besar pendapatan berasal dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat.
Menurut Undang-Undang no 28 tahun 2001, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Faktanya, banyak masyarakat yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajak dengan ragam alasan, salah satunya adalah pajak diibaratkan seperti pemberian upeti.
Kewajiban konsultan pajak
Dalam konteks ini, peranan konsultan pajak diperlukan untuk membantu pemerintah. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, tugas dan kewajiban konsultan pajak adalah sebagai berikut:
- Memberikan jasa konsultasi kepada wajib pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan perundang-undangan perpajakan.
- Mematuhi kode etik konsultan dan berpedoman pada standar profesi konsultan pajak yang diterbitkan oleh asosiasi konsultan pajak.
- Mengikuti kegiatan perkembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau diakui oleh asosiasi konsultan pajak dan memenuhi satuan kredit profesional berkelanjutan.
- Menyampaikan laporan tahunan konsultan pajak; dan
- Memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor dengan melampirkan bukti perubahan yang dimaksud.
Artinya, kehadiran konsultan pajak penting untuk menumbuhkan kesadaran wajib pajak.
Namun, tugas untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dengan cara menekan terjadinya kecurangan pajak memang bukan tugas yang mudah.
Selain dihadapkan pada faktor jumlah wajib pajak yang sangat besar, faktor sistem kalkulasi pajak yang bersifat self assessment juga menghadirkan beragam permasalahan yang kompleks.
Pemungutan pajak di Indonesia
Salah satu sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah sistem self assessment, yaitu sistem dimana wajib pajak dapat menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri ke pemerintah sesuai dengan ketentuan pajak yang berlaku.
Seperti di kutip dari onlinepajak.com, Sabtu (13/11/2021) self assessment system adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Jenis Pajak yang menggunakan self assessment system adalah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Direktorat Jenderal Pajak Hadi Poernomo menyatakan bahwa dalam pelaksanaan self assessment system, otoritas pajak mengalami kesulitan dalam mengawasi nilai pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kelengkapan data yang diberikan oleh wajib pajak kepada pihak otoritas pajak (Haq, 2017).
Pengamat perpajakan Rony Bako menyatakan bahwa pemerintah telah membangun sistem pengawasan penagihan pajak yang cukup kuat, tetapi yang memberikan celah adanya pelanggaran perpajakan adalah sistem self assessment.
Rony mengatakan sistem self assessment sering menimbulkan masalah di lapangan seperti sering terjadi perbedaan antara angka pajak yang dihitung wajib pajak dengan petugas. Permasalahan terjadi karena wajib pajak tidak memahami secara komprehensif perhitungan pajak (Makki, 2018).
Masih terdapat banyak wajib pajak yang kurang paham mengenai peraturan perpajakan, bahkan masih ada wajib pajak yang tidak tahu sama sekali mengenai peraturan perpajakan (www.ortax.org).
Menurut Akbar et al. (2015), pelaksanaan sistem self assessment belum berjalan dengan baik dan masih terdapat beberapa kendala yaitu kesadaran masyarakat yang rendah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, dan adanya wajib pajak yang tidak menyetorkan pajak sesuai dengan jumlah yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan kecurangan pajak lainnya.