Pentingnya Apoteker dalam Pelayanan Kesehatan
Dibanding dengan dokter dan perawat, profesi apoteker ada di balik layar. Sehingga tidak terlalu terlihat perannya.

MONDAYREVIEW.COM – Dibanding dengan dokter dan perawat, profesi apoteker ada di balik layar. Sehingga tidak terlalu terlihat perannya. Yang berada di garis depan untuk menangani pasien adalah dokter dan perawat. Namun walaupun tidak terlihat, posisi apoteker sangat penting karena dia yang menyiapkan obat yang diminta oleh dokter. Jika apoteker salah meracik obat, nyawa seseorang bisa hilang. Namun jika seorang apoteker benar dalam meracik obat, nyawa manusia bisa terselamatkan. Baik pada masa normal maupun wabah, apoteker memberikan pelayanan kefarmasian yang tak tergantikan. Ketika rumah sakit dan puskesmas menutup layanan sementara akibat tenaga kesehatan yang terdampak COVID-19, apotek tetap memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap obat dan alat kesehatan.
Ada beberapa kesalahpahaman masyarakat Indonesia terhadap profesi apoteker. Apoteker dianggap hanya bertugas menunggu apotik. Apoteker merupakan sebutan bagi profesi farmasi di Indonesia. Di negara-negara berbahasa Inggris disebut pharmacist, sementara di Belanda, Jerman, dan Belgia dinamakan apotheker. Untuk menjadi apoteker, seseorang harus lulus sarjana (S1) program farmasi (per Oktober 2019 ada 264 program studi S1 Farmasi di Indonesia), ditambah dua semester pendidikan profesi apoteker dan mengucapkan sumpah profesi sebagai apoteker. Mereka baru bisa masuk ke dunia profesi apoteker setelah dinyatakan lulus dari Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) yang diselenggarakan oleh Panitia Nasional UKAI. Saat ini, ada sekitar 80.000 apoteker di Indonesia yang bekerja dalam berbagai bidang pekerjaan kefarmasian meliputi produksi, distribusi, dan pelayanan obat dan obat tradisional.
Di industri farmasi, apoteker umumnya bekerja dalam pengendalian mutu, pemastian mutu, dan produksi obat. Peran apoteker juga sangat dibutuhkan dalam penelitian dan pengembangan (R&D), seiring dengan ditemukannya obat-obatan baru bagi berbagai penyakit. Dalam delapan tahun terakhir, misalnya, setidaknya 209 obat baru disetujui oleh Administrasi Obat dan Pangan (FDA) Amerika Serikat. Data obat baru ini menjadi acuan bagi produksi obat-obatan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di apotek, puskesmas, dan rumah sakit, apoteker tidak hanya melayani resep dan menyerahkan obat. Apoteker juga melakukan penelusuran riwayat penggunaan obat, evaluasi penggunaan obat, pemantauan terapi obat, pelayanan informasi obat, dan konseling.
Dalam memberikan pelayanan, apoteker kerap berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain seperti dokter, perawat, atau ahli gizi agar pengobatan yang diberikan aman dan efektif bagi pasien. Apoteker pun memberikan pelayanan informasi obat, serta konseling bagi pasien yang membutuhkan. Di rumah sakit, apoteker berperan menyiapkan obat kanker serta pencampuran obat suntik dan sediaan steril lainnya. Selain memberikan pelayanan langsung kepada pasien, apoteker juga berperan dalam pengelolaan obat dan alat kesehatan. Tanpa ada apoteker yang bergerak di bidang pengelolaan, pelayanan kesehatan akan terkena imbasnya karena kekurangan stok obat, atau stok obat menumpuk sehingga kedaluwarsa.
Ikatan Apoteker Indonesia menyatakan sekitar 800 apoteker positif COVID-19. Hal ini membuka mata publik bahwa apoteker juga merupakan salah satu profesi kesehatan yang terdampak COVID-19.
Tingginya risiko apoteker untuk terpapar COVID-19 mendorong penerapan inovasi pelayanan kefarmasian, seperti pelayanan farmasi jarak jauh (telepharmacy), tanpa tatap muka langsung. Di Indonesia, baru-baru ini BPOM menerbitkan peraturan untuk mengawasi penjualan obat secara daring. Penerapan telepharmacy tidak terbatas pada penyerahan obat saja, tapi juga pada pemantauan penggunaan obat, konseling, bahkan sebagai alternatif solusi keterbatasan jumlah apoteker di suatu wilayah. Meski Peraturan Menteri Kesehatan No 20 Tahun 2019 telah mengatur pelayanan kesehatan jarak jauh di Indonesia, perlu pedoman dan pelatihan bagi apoteker agar telepharmacy dapat diterapkan.
Indonesia juga menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan obat nasional. Sebagai sebuah bisnis, industri farmasi Indonesia memenuhi 70% kebutuhan obat dalam negeri. Namun, sekitar 90% bahan baku obat harus diimpor dari Cina dan India. Sebagai negara dengan biodiversitas terkaya kedua setelah Brazil, Indonesia memiliki 1.645 spesies tanaman obat yang teridentifikasi sebagai tanaman obat. Namun, baru sekitar seperlimanya dari tanaman obat tersebut yang terdaftar di BPOM sebagai obat.