Pengamat Militer: Aksi Demonstrasi Hari Ini Wujud dari Perang Masa Depan
Pemerintah, terutama TNI, harus membuat strategi dengan mengalokasikan anggaran besar dalam mengantisipasi perang masa depan atau perang modern seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir.

MONITORDAY.COM - Pengamat Pertahanan dan Militer, Connie Rahakundini Bakrie mengatakan aksi-aksi selama ini merupakan wujud dari perang masa depan yakni peran media sosial. Maka dari itu, untuk menyelesaikannya tidak bisa dengan cara turun ke jalan.
Pemerintah, terutama TNI, harus membuat strategi dengan mengalokasikan anggaran besar dalam mengantisipasi perang masa depan atau perang modern seperti yang terjadi beberapa pekan terakhir.
"Ancaman terbesar dari bangsa ini adalah misinformasi dan propaganda media sosial. Media sosial itu paling berbahaya," kata Connie dalam seminar kebangsaan bertema “Muara Unjuk Rasa: NKRI Mau Dibawa Ke Mana?” di Balai Sarwono Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (03/10/19).
Di tempat yang sama, Pengamat Intelijen, Suhendra Hadikuntono mengatakan masalah pokok soal konflik selama ini adalah terletak pada masalah komunikasi pada tim intelijen. Peran intelijen saat ini, menurut Suhendra, tidak kuat.
Soal kasus-kasus selama ini, ia mencontohkan bagaimana peran intelijen ketika Indonesia berkonflik dengan Vietnam yang telah melakukan pelanggaran HAM terhadap orang-orang Indonesia di Vietnam. Kasusnya terselesaikan dengan senyap.
"Naluri intelijen itu harus diasah. Saya berharap Presiden sudah paham dan juga bisa merasakan bahwa tanpa kemampuan unit intelijen yang kuat bisa mengancam stabilitas keamanan negara," ungkap Suhendra.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Politik Christianto Wibisono mengatakan ada persengkokolan para elit dan politisi yang mendesain aksi-aksi ini untuk mengulang kembali sejarah kelam masa lalu bangsa ini, rincinya sejarah 1966 dan 1968.
Menurutnya, skenario ini persis adalah daur ulang mirip penolakan laporan pertanggung jawaban Habibie yang berdampak pengunduran diri Habibie.
"Seperti penolakan BEM atas kemauan Presiden Jokowi menerima di Istana, persis seperti kala Mayjen Soeharto menolak Presiden Sukarno ke Halim 1 Oktober 1965," kata Christianto.