Pengamat : Kandidat Harus Atur Strategi Rebut Suara Potensial Kaum Santri
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, para politisi saat ini harus pintar menerapkan strategi untuk mendapatkan suara kaum santri. Hal ini dilakukan mengingat jumlah santri yang saat ini masuk dalam pemilih pemula, cukup potensial untuk mendongkrak elektabilitas kandidat.

MONITORDAY.COM - Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai, para politisi saat ini harus pintar menerapkan strategi untuk mendapatkan suara kaum santri. Hal ini dilakukan mengingat jumlah santri yang saat ini masuk dalam pemilih pemula, cukup potensial untuk mendongkrak elektabilitas kandidat.
"Suara kalangan santri selalu menjadi rebutan, mulai dari kontestasi tingkat lokal sampai pada level nasional. Wajar karena ceruk segmen suara santri ini cukup besar dan bisa mendongkrak elektabilitas," kata Pangi, dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/10).
Pangi menuturkan, bahwa secara kultural para santri sangat manut, taat dan patuh pada titah para kiyai yang mereka anggap sebagai pemimpin dan guru mereka. Dengan demikian, suara santri ada di tangan kiyai.
"Untuk mendapatkan dukungan politik dari kalangan santri para politisi mutlak harus melakukan pendekatan yang intens pada para kiyai sebagai pemegang otoritas di wilayah pesantren," kata Pangi.
Meski begitu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting ini menilai, pola dukungan kaum santri saat ini cukup berbeda. Ia menyarankan, politisi harus mempunyai sensitivitas terkait, pertama, Sambutan Kiai Pesantren yang baik bukan berarti mendukung suatu kandidat yang mengunjunginya. Sambutan dan keramahtamahan para kiyai dan santri ketika datang untuk berkunjung ke pesantren bukan lah berarti mereka telah memberikan dukungan politik.
"Para kiyai secara adab tentu akan sangat memuliakan para tamu, calon gubernur, calon presiden dan kepala daerah lain yang datang berkunjung, itu kewajiban seorang Muslim menjamu tamu dan membangun silaturahim namun belum tentu akan memberikan dukungan politik dalam bentuk suara di TPS," terangnya.
Kemudian yang kedua, Capres-Cawapres juga harus sensitif melihat Sebaran dan jumlah pesantren di seluruh Indonesia (terutama di pulau Jawa), yang menjadikan para kiyai bersifat lebih otonom dalam membina dan mengurus pesantren-nya masing masing, bahkan sampai urusan politik.
"Tidak ada alur komando dan intruksi yang membuat para kiyai hanya mengikuti arus dukungan terhadap kandidat tertentu bahkan yang tergabung dalam satu organisasi sakali pun," tuturnya.
Situasi ini, menurut Pangi, tentu akan membuka ruang kepada masing-masing kubu pendukung capres-cawapres untuk melakukan pendekatan yang lebih intensif karena peluang untuk mendapatkan dukungan dari kalangan santri masih terbuka lebar.
"Pendekatan yang intensif dan kemampuan memberikan janji angin syorga yang menyakinkan bisa menjadi kunci dalam pendekatan ini, bukan hanya terpaku pada kandidat yang pernah nyantri atau tidak," ucapnya.
Selain itu, kandidat juga diminta perhatikan pola kaum santri yang kemungkinan besar telah berpikir bahwa mereka tak mau mengulang kembali kasus mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan, yang mendorong ditinggalkan.
"Kiyai dan santri minta kontrak politik sampai pembayaran berupa bantuan yang kongkrit diselesaikan di depan. Suara santri dan kiyai seringkali hanya dijadikan sebagai komoditas politik semata, seringkali dimanfaatkan, dipakai hanya untuk kepentingan kendaraan politik semata," terangnya.
"Setelah kepentingan politik selesai, selesai pula kunjungan ke pesantren dan cium tangan kiyai. Begitu mendekati pemilu, penyakit politisi kambuh lagi, dan terus berulang," imbuh Pangi.
Menurut dia, Santri dan kiyai saat ini telah sadar bahwa mereka hanya dijadikan sebagai komoditas politik dalam rangka mendulang elektoral dalam setiap hajatan kontestasi elektoral seperti pilpres, pileg dan pilkada.
Karena itu, Pangi menyarankan, agar para kandidat yang ada saat ini harus pintar mengatur strategi dan cara untuk bisa merebut dukungan kaum santri yang potensial.
"Politisi saat ini harus memutar otak dan harus lebih sensitif, karena para kiyai juga sudah sangat berpangalaman serta lihai dalam menghadapi situasi politik yang menempatkan mereka dalam pusaran perebutan dukungan," pungkasnya.