Pencalonan Gibran: Dinasti Politik atau Kompetensi ?
Anggota DPR RI, Andreas Hugo Pareira mengakui keputusan DPP PDI Perjuangan untuk mencalonkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Walikota Solo menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan hanya internal PDI Perjuangan tetapi juga publik nasional. Ragam persepsi pun berkembang, mulai dari dinasti politik hingga kompetensi. Tentunya, Tradisi PDIP mendorong putra-putri bangsa yang berkompeten.

MONITORDAY.COM - Anggota DPR RI, Andreas Hugo Pareira mengakui keputusan DPP PDI Perjuangan untuk mencalonkan Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Walikota Solo menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan hanya internal PDI Perjuangan tetapi juga publik nasional. PDIP jelas memiliki platform yang jelas, melalui berbagai tahapan untuk memastikan putra-putri Indonesia yang berkompeten dan terbaik yang layak memimpin.
"Keputusan ini cukup menyedot perhatian publik. Tak bisa dipungkiri, ragam analisa dan spekulasi mewarnai di media massa, forum diskusi dan kedai kopi. Ini sah-sah saja, yang pasti PDIP punya tradisi mendorong putra-putri Indonesia yang berkompeten" ujarnya kepada monitorday.com, senin (20/7/2020)
Media main stream maupun media sosial, kata Andreas, menampilkan pencalonan ini dari berbagai sudut pandang. Sehingga pencalonan Walkot Solo kali ini menjadi perhatian nasional, bahkan level perhatian publik utk pilkada Solo ini mungkin hanya sedikit dibawah DKI Jakarta.
Lebih lanjut, Politisi PDIP ini menilai perhatian publik terhadap Pemiliha Walikota Solo ini bahkan sudah dimulai ketika Gibran baru mendeklarasikan niatnya untuk terlibat di pilkada pada akhir tahun 2019.
Lantas, apakah pertimbangan keputusan pencalonan Gibran ini karena Gibran anaknya Jokowi, alias untuk membangun dinasti politik seperti yang diopinikan segelintir orang dan media?
Pasti tidak! Karena kalau partai seperti PDI Perjuangan mengusung Calon di Pilkada tentu pertimbangannya adalah untuk memperoleh dukungan dan memenangkan pilkada.
Bagi PDI Perjuangan untuk memenangkan pilkada yang paling ideal adalah dengan kader partai yang mumpuni.
Dengan demikian, kepemimpinan di daerah tersebut bermanfaat untuk rakyat dan pada akhirnya dengan kader yang sukses memimpin daerah akan mengharumkan nama partai, meningkatkan elektoral partai dan terjadi proses kaderisasi untuk kelanjutan kepemimpinan partai baik daerah maupun nasional.
Argumentasi membangun dinasti politik dalam alam demokrasi yang terbuka sebagaimana yang berlangsung di Indonesia saat ini menjadi tidak relevan. Mengapa? Karena dalam sistem pemilihan langsung, yang memutuskan seseorang terpilih atau tidak adalah rakyat.
Dinasti hanya berlaku pada sistem monarki atau sistem totaliter sebagaimana yg dipraktekan Korea Utara saat ini. Yang memutuskan siapa Walkot Solo dalam pilkada Solo nanti adalah rakyat Solo, bukan Jokowi, bukan pula Partai.
Juga bukan type seorang Jokowi untuk menjagokan anaknya atau keluarganya untuk jabatan tertentu baik di bidang politik maupun bisnis. Hal-hal KKN semacam ini belum terdengar pada diri Jokowi.
"Masih kuat dalam ingatan kita, salah satu anaknya Jokowi justru tidak lolos dalam test PNS, malah dibiarkan saja oleh Jokowi. Padahal, kalau mau, tidak sulit bagi Jokowi angkat telp ke MenPAN RB untuk meloloskan anaknya," jelasnya.
Oleh karena itu, pencalonan Gibran tentu dilakukan melalui pertimbangan yamg matang oleh partai, dengan kriteria elektoral dan kompetensi. Dukungam elektoral Gibran, kerja mesin partai PDI Perjuangan ditambah dukungan dari partai-partai lain akan menjadi basis elektoral yang kuat bagi Gibran. Sementara dari segi kompetensi.
Meskipun relatif baru dalam dunia politik, dengan latar belakang lingkungan keluarga, pendidikan yang memadai dan pengalaman di dunia bisnis dan jaringan sosial yang dimiliki, tidak berlebihan kalau mengatakan Gibran mempunyai komptensi dasar dan nilai lebih yang memadai untuk memimpin Solo.
"Lepas dari semua itu, mari kita lihat, apa kata rakyat Solo dalam Pilkada nanti," pungkasnya.