Pembangunan Papua Berbasis Wilayah Adat
Tanah Papua bukanlah tanah kosong tanpa penghuni, bukan kota tanpa penduduk, bukan kawasan tanpa peradaban. Di Tanah Papua, telah lama hidup suku-suku asli yang penuh cinta kasih, tatanan kehidupan, dan terutama kebudayaan dan adat istiadat.
MONDAYREVIEW - Tanah Papua bukanlah tanah kosong tanpa penghuni, bukan kota tanpa penduduk, bukan kawasan tanpa peradaban. Di Tanah Papua, telah lama hidup suku-suku asli yang penuh cinta kasih, tatanan kehidupan, dan terutama kebudayaan dan adat istiadat. Itulah sebabnya, Tanah Papua, seringkali disebut “Tanah yang Diberkati”.
Di tanah inilah segala macam jenis flora dan fauna bisa hidup lestari, sumber-sumber energi dan logam mulia tersimpan dengan cadangan tak terhingga, bentuk lahan dan tofografi yang memanjakan mata, dan yang paling utama adalah keragaman suku bangsa, budaya, agama, ras, dan bahasa yang tak dapat dipungkiri keberadaannya.
Tanah Papua adalah tempat yang dihuni oleh orang-orang yang memenuhi kebutuhan dasarnya dengan berburu dan meramu, membuat alat dari batu dan perapian, ukiran-ukiran berdaya magis nan khas, lengkingan suara menakjubkan, serta tarian yang beraneka ragam dan penuh simbol.
Hal lain yang juga penting, adalah keberadaan orang-orang yang membuat rumah-rumah dari arsitektur rumah yang dikenal dengan honai, ataupun para-para. Tempat dimana, nilai-nilai kehidupan dijaga kelestariannya, wadah utama untuk menampung dialektika berdemokrasi Masyarakat Papua.
Dengan potensi yang dimiliki, Provinsi Papua terutama di era kepemimpinan Lukas Enembe, kian sadar bila membangun Papua harus dilakukan dengan model sosial kultural (pembangunan berbasis kultur budaya), dimana pembangunan dilakukan dengan pendekatan wilayah adat.
Buku bertajuk “Papua: Antara Uang dan Kewenangan” karya Gubernur Lukas Enembe menyisir satu demi satu upaya Papua untuk Bangkit, dan Mandiri di atas kaki sendiri. Fakta lainnya, Papua saat ini sedang berusaha untuk menghindari kutukan sumber daya alam, dengan membangun manusia, dan membangkitkan kebudayaan masyarakat Papua yang selama ini tertutup oleh kabut debu dan silaunya logam mulia.
Dalam sebuah diskusi santai di Jakarta, Kepala Kantor Badan Penghubung Provinsi Papua, Alexander Kapisa mengungkapkan bahwa seni dan budaya merupakan modal terbesar dalam pembangunan Papua. Modal besar harus digerakan seoptimal mungkin sehingga mampu mendatangkan berkah bagi masyarakat.
Alexander juga mengungkapkan bahwa untuk mempercepat pembangunan, Provinsi Papua harus melibatkan berbagai stakeholders termasuk para pelaku seni dan pemerhati budaya Papua. Dengan melibatkan semua pihak maka Papua akan segera bangkit.
“Peran dari tokoh-tokoh masyarakat, agama, dan tentunya pelaku seni memberikan kontribusi yang sangat positif dalam proses pembangunan di Provinsi Papua. Tanpa peran aktif, kerjasama dan sinergi positif yang terbangun selama ini antara berbagai stakeholders tersebut dengan pemerintah tentunya akan sangat berat mewujudkan apa yang selama ini didambakan yaitu Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera,” papar Alexander.
“Sebagai daerah yang sangat dikenal dengan beraneka ragam seni, kerajinan tangan, taritarian etnik dan kegiatan-kegiatan spiritual lainnya, maka pelaku seni dan pemerhati budaya sangat strategis dalam mempromosikan budaya papua.”
Alexander juga menjelaskan bahwa Provinsi Papua memiliki 5 kawasan adat, antara lain Saireri, Mamta, Mee Pago, Laa Pago, dan Animha. Kelima kawasan adat tersebut masing-masing memiliki kekayaan seni dan budaya yang khas. Masing-masing masyarakatnya juga memiliki karakteristik yang berbeda. Maka itu harus ada pola pembangunan yang melihat kearifan lokal mereka. “Dengan pola pendekatan pembangunan lima wilayah adat, maka fokus pembangunan di berbagai sektor dapat menjadi lebih baik, termasuk memunculkan potensi seni dan budaya masing-masing wilayah adat tersebut,” ujar Alex.
Salah satu contoh betapa kayanya budaya Papua misalnya saja di wilayah adat Animha, yang meliputi Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Asmat dan Mappi. Secara geografis, masyarakat yang hidup di wilayah adat Animha berada di wilayah tengah Papua, yang tentu saja berpengaruh banyak pada model kehidupan dan kebudayaan yang mereka miliki.
Terutama sekali Suku Asmat, yang dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Suku Asmat meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan dewa Fumeripitsy yang turun dari dunia gaib yang berada di seberang laut di belakang ufuk, tempat matahari terbenam tiap hari. Menurut keyakinan mereka, dewa nenek-moyang itu dulu mendarat di bumi di suatu tempat yang jauh dari pegunungan. Dalam perjalanannya turun ke hilir sampai akhirnya tiba di tempat yang kini didiami oleg orang Asmat hilir, ia mengalami banyak petualangan.
Orang-orang Asmat pandai membuat hiasan ukiran. Hebatnya, mereka membuat ukiran tanpa membuat sketsa terlebih dahulu. Ukiran-ukiran yang mereka buat memiliki makna, yaitu persembahan dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang. Bagi Suku Asmat, mengukir bukan pekerjaan biasa. Mengukir adalah jalan untuk berhubungan dengan para leluhur.
Suku Asmat percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal dapat menyebabkan bencana bagi orang yang masih hidup, menyebabkan peperangan, juga menyebarkan penyakit. Untuk menghindari hal tersebut, masyarakat dalam Suku Asmat akan membuat patung dan menyelenggarakan berbagai macam pesta; Pesta Bis, Pesta Perah, Pesta Ulat Sagu, dan Pesta Topeng.
Jauh dari sentuhan pembangunan dan hingar-bingat modernisasi, Papua memang seringkali dipandang sebagai provinsi sekaligus masyarakat yang tertinggal jauh dari kemajuan dibandingkan provinsi dan masayarakat di Indonesia. Papua pun dirasakan semakin terpuruk oleh banyaknya pemberitaan yang menyudutkan masyarakat Papua. Padahal, Papua memiliki ragam adat suku dan budaya serta menyimpan kekayaan alam yang luas biasa, Papua adalah “Serpihan Surga”.
Kata Alexander, Potensi seni dan budaya serta keindahan alam Papua dapat dikembangkan untuk membangun Papua. Kuncinya adalah sinergi, yang harus dilakukan oleh semua pihak, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Orang Papua sendiri, hingga setiap orang yang mencintai Papua.
“Disinilah signifikansi dari ditetapkannya lima kawasan adat Papua, yang diproyeksikan dalam setiap jengkal pembangunan di Tanah Papua. Bahwa apa pun yang mengatasnamakan pembangunan di Papua, sejatinya menggunakan pembagian kawasan adat ini sebagai titik tolak,” terang Alexander.
Alexander menegaskan, bila upaya tersebut dilakukan semata agar pembangunan yang dilakukan di Tanah Papua menjadi tepat sasaran. Alexander mencontohkan, untuk pembangunan di wilayah adat La Pago atau pun Mee Pago, letaknya yang berada di Pegunungan Tengah, tidak memungkinkan untuk dikembangkannya sektor perikanan. Baik Mee Pago maupun Laa Pago, adalah kawasan dengan tebing yang terjal dan lembah yang dalam.
Sejatinya, kekayaan dan keragaman seni budaya Indonesia dari Sabang hingga Merauke dapat menjadi tali perekat sosial. Pun demikian ratusan budaya yang kita miliki selama ini dapat memberi warna bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dan yang paling utama dari kekayaan budaya tersebut tentu saja adalah adanya harapan kemajuan bangsa, karena ghalibnya keragaman itu meniscayakan adanya harapan. “Membangun semesta kekuatan lokal harus mengakui adanya culture diversity, kondisi lokal yang terkait dengan sistem kehidupan masyarakat,” terang Alex mantap.