Pelibatan TNI dalam Revisi UU Anti Terorisme, Muhammadiyah: Jangan Sampai Memunculkan State Terorism

Pelibatan TNI dalam  Revisi UU Anti Terorisme, Muhammadiyah: Jangan Sampai Memunculkan State Terorism
source: viva.co.id

MONDAYREVIEW.COM, Jakarta - DPR tengah menggodok revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam revisi UU tersebut, diketahui wacana pelibatan TNI untuk menanggulangi terorisme semakin menguat.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengungangkapkan, pelibatan TNI dalam membinasakan terorisme di Indonesia berpotensi memunculkan kembali state terorism atau tindakan teror yang dilakukan pemerintah.

Menurutnya, TNI saat ini berada pada posisi yang nyaman dan sebaiknya tak usah ditarik dalam konflik yang penuh dengan kepentingan. 

"Jangan sampai pemberantasan terorisme memunculkan state terorism jilid dua," tegas Busyro, di Jakarta, Senin (25/7).

Ia mengisahkan, saat TNI berkuasa pada era Orde Baru sering terjadi kasus state terorism. "Yang menjadi pelaku teror pada zaman Orba adalah negara, tepatnya dari 1977 hingga 1985," tutur Busyro.

Mayoritas korban dari tindakan tersebut adalah orang Islam, karena mencuatnya isu dibentuknya negara Islam. Hal itu, sambung Busyro, hampir mirip dengan kondisi saat ini, yakni kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam yang melakukan teror sehingga timbul korban jiwa.

Aparat Pelanggar HAM

Terpisah, Ketua Pansus RUU Anti Terorisme Muhammad Syafii mengungkapkan, setelah meniggalnya Pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso, suasana di Poso, Sulawesi Tengah disebut sangat aman dan tentram.

Hal itu dianggap karena polisi tak lagi di sana dan masyarakat Poso tak merasa kelompok Santoso sebagai teroris.

Bagi masyarakat Poso, teror sebenarnya datang dari aparat kepolisian. Masyarakat di sana, kata Syafii, menyimpan dendam yang luar biasa kepada polisi akibat banyaknya aparat yang melakukan pelanggaran HAM berat.

"Para pendeta, ustad, tokoh masyarakat, tokoh pemuda sepakat dengan satu kata, mereka sangat benci dengan polisi karena telah lakukan pelanggaran HAM berat," kata Syafii di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Politikus Gerindra itu menyebutkan, jenazah Santoso justru disambut ribuan orang dari berbagai kalangan. Bahkan, ada yang membawakan tulisan "Selamat Datang Syuhada." Sementara, di sisi lain, masyarakat di sana menginginkan aparat kepolisian angkat kaki dari kota mereka.

"Sekarang jadi siapa yang dianggap teroris? Santoso malah disambut sementara polisi disuruh angkat kaki," ucap Syafii.

Dia mengungkapkan, banyak tindakan polisi yang semena-mena dalam menangani tersangka kejahatan. Para polisi, lanjut Syafii, melakukan tindakan kekerasan yang akibatnya malah menimbulkan kebencian.

"Penjahat kayak apa? dia datangi itu ke rumah malam-malam, lampu dimatiin lalu mata dilakban, mulut dilakban dibawa lalu dipukulin. Semua penanganan kayak gitu. Dan itu terjadi di depan anaknya, istrinya, itu timbulkan kebencian," tandasnya.

Awasi Densus 88 Anti Teror

Wakil Ketua Pansus RUU Anti Terorisme, Hanafi Rais, menyatakan, salah satu hal yang di desak oleh fraksi-fraksi dalam Pansus ialah pembentukan tim pengawas Densus 88 Anti Teror.

"Dari hasil diskusi dalam rapat-rapat sebelumnya itu yang akan kami (Fraksi Partai Amanat Nasional) desak saat DIM. Saya rasa fraksi lain juga berpikiran sama," kata Hanafi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

Menurut putra Amien Rais itu,  tim pengawas Densus 88 menjadi penting lantaran tim tersebut memiliki kewenangan khusus dalam menindak tersangka teroris.

"Memang dalam RUU Terorisme belum diputuskan secara bulat apakah teroris tergolong tindak pidana murni atau bukan. Namun, melihat UU Nomor 15 Tahun 2003 memang sepertinya terorisme dipandang bukan tindak pidana murni karena Densus diberi kewenangan untuk menangkap tersangka teroris tanpa proses hukum sebelumnya," papar Hanafi.

Karena itu, Wakil Ketua Komisi I DPR ini menilai, pengawasan terhadap Densus 88 sangat diperlukan meningat kewenangan yang dimilikinya sangat besar sehingga dikhawatirkan menimbulkan pelanggaran HAM.

"Bisa menangkap untuk menginterogasi tanpa proses hukum itu kan rawan diselewengkan, khawatirnya bisa melanggar HAM. Nah, tim pengawas dari DPR berfungsi untuk mengawasi hal itu," tandasnya.

"Badan Intelijen Negara (BIN) saja yang operasinya rahasia ada tim pengawasnya kok. Semestinya Densus yang memiliki potensi penyelewengan kewenangan juga harus ada tim pengawasnya," pungkas Hanafi.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menolak wacana pembentukan dewan pengawas Densus 88 dengan alasan penghematan anggaran dan mekanisme pengawasannya sudah ada.

Saat ini, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tengah memasuki tahap daftar inventaris masalah (DIM).

FAHREZA RIZKY