Pasal Penghinaan Presiden Diminta Bedakan antara "Kritik Kebijakan" dengan "Figur"

Pasal Penghinaan Presiden dapat membedakan antara 'Kritik Kebijakan' dengan 'Figur'.

Pasal Penghinaan Presiden Diminta Bedakan antara "Kritik Kebijakan" dengan "Figur"
Eva Achjani Zulfa. Foto: Yusuf Tirtayasa/Monitorday.com

MONITORDAY.COM - Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa menyoroti soal pasal penghinaan Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kini menjadi polemik.

Ia mengatakan di satu pihak, Tim Perumus RKUHP mencoba meletakkan Presiden sebagai simbol negara yang perlu dilindungi. "Kalo (berupa) kritik terhadap kebijakan yang dibuat Pemerintah, tentunya tidak bisa dikategorikan sebagai penghinaan," katanya di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Imperium Office, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (13/2/2018).

Hal tersebut menurutnya membuat pengkritik kebijakan Pemerintah tidak bisa dipidana. Namun, lanjut dia, jika yang dikritik adalah figur Presiden, maka hal itu merupakan penyerangan terhadap martabat negara, seperti kasus yang pernah terjadi dimana beredar gambar Presiden yang dimetaforkan dengan binatang tertentu.

"Menterjemahkannya menjadi berbeda. Tentunya sebagai orang Indonesia kita perlu melindungi itu. Jadi pisahkan dua hal itu," imbuhnya.

Dirinya sendiri tidak tahu apakah tim perumus RKUHP bisa berhasil merumuskan hal tersebut. Meski begitu, ia mengingatkan jika penghinaan Presiden menjadi sebuah delik, maka kebebasan berpendapat harus tetap dijaga.

"Kritik terhadap pemerintah itu bukan bagian dari satu jenis perbuatan yang diancamkan dalam sanksi ini. Hanya semata-mata menjaga martabat negara," tandas Eva.

[Yusuf Tirtayasa]