Memahami Politik Realistis Gibran
Jika pencalonan Gibran kita letakan dalam konteks regenerasi, maka pencalonannya pun sejatinya kita anggap sebagai sebuah proses yang alami (nature).

NAMA putera sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka (Gibran) kembali ramai diperbincangan. Kali ini bukan soal bisnis martabaknya, melainkan soal pencalonannya dalam kontestasi Pilwalkot Solo 2020.
Ketika diumumkan oleh Ketua DPP PDI-P Puan Maharani secara daring, Gibran sebetulnya bukan pasangan satu-satunya. Dia bersama 44 pasangan kepala daerah lainnya yang diusung PDI-P untuk Pilkada 2020. Tapi yang dipelototi hampir semua media malah soal pencalonan Gibran seorang.
Karena pemberitaan itu, maka publik pun lantas bertanya, kenapa? Lalu muncul narasi-narasi yang menyebut pencalonan Gibran sebagai upaya melanggengkan dinasti politik keluarga Jokowi. Anggapan tersebut muncul lantaran Jokowi dianggap turut andil menjegal kompetitor Gibran di Pilwalkot Solo, Achmad Purnomo.
Selanjutnya, kita pun bisa tebak. Keriuhan terkait Gibran yang mendapat karpet merah melaju menjadi calon walikota di Pilwalkot Solo 2020 berpindah ke ruang-ruang digital. Muncul beberapa tagar yang memojokan Gibran. Namun tagar tersebut tak bertahan lama. Tergantikan oleh si klepon, kue kenyal berwarna hijau nan manis.
Bagi saya polemik soal dinasti politik di negeri ini tak ubahnya seperti polemik seputar klepon yang disebut-sebut sebagai jajanan yang tak lagi Islami. Cuma bikin gaduh dan membuat orang kian tenggelam bersama nalarnya yang mulai payah.
Sekian lama demokrasi prosedural disebut hanya menguntungkan para elite, dinasti dan pemilik modal, namun tidak pernah ada upaya revolusioner untuk mengubah dan meningkatkan kualitasnya. Terutama soal dinasti politik, terus menjadi polemik dan merusak proses demokrasi. Akibatnya, ada bias antara mana yang dinasti atau regenerasi?
Regenerasi politik
Saya tidak ingin terpancing dengan narasi-narasi sempit seperti yang ditampilkan dalam meme klepon karya ‘Abu Ikhwan Aziz’ itu. Saya memilih meletakan pencalonan Gibran di Pilwalkot Solo 2020 sebagai upaya lain PDI-P untuk melakukan regenerasi politik di tubuh partainya, bukan melanggengkan dinasti politik.
Apalagi jika dilihat dari kompetensinya, Gibran jelas memiliki kapasitas yang cukup. Paling tidak dia tak pernah terlihat berlomba pamer mobil mewah. Dia memiliki modal sosial maupun modal intelektual yang mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin.
Jika pencalonan Gibran kita letakan dalam konteks regenerasi, maka pencalonannya pun sejatinya kita anggap sebagai sebuah proses yang alami (nature). Karena seperti sel dalam tubuh, setiap hari mengalami kerusakan (degenerasi) dan juga mengalami proses peremajaan (regenerasi) secara alami dan seimbang.
Pencalonan Gibran juga berkaitan dengan upaya melahirkan suatu generasi atau angkatan baru. Dimana sang pelahir bisa terdiri dari generasi atau angkatan sebelumnya yang relatif berbeda dalam situasi dan tanggungjawab sosial, sehingga regenerasi berarti penyiapan kepribadian dalam suatu pola masa depan.
Pun demikian dalam konteks berbangsa dan bernegara, regenerasi merupakan sebuah keniscayaan, dan imperatif sejarah yang tak bisa dihindari. Artinya, akan selalu lahir generasi-generasi baru yang berusia lebih muda, sementara generasi sebelumnya akan menjadi generasi tua yang mulai mengalami penurunan produktivitas. Tidaklah berlebihan jika Gibran masuk dalam kategori generasi baru itu.
Bila mengacu kepada makna harfiahnya, maka generasi amat berkaitan dengan “kebangkitan”, begitu kata Kuntowijoyo. Sehingga regenerasi dapat berarti sebagai upaya membangkitkan kembali suatu angkatan yang memiliki komitmen bersama terhadap berbagai masalah kehidupan sosial dalam zamannya sendiri atau zaman lain yang segera akan tiba.
Mimpi Majukan UMKM
Sejatinya orientasi politik macam pencalonan dalam kontestasi politik pilkada masih bersifat individual, maka kesadaran dalam konteks ini pun belum dapat memberikan arti apa-apa bagi perjalanan sejarah sebuah bangsa. Itulah kenapa para ahli sejarah seringkali menyebut pentingnya istilah triumvirat kesadaran sejarah, yaitu perpaduan kesadaran historis, kesadaran realistik, dan kesadaran futuristik.
Karena triumvirat kesadaran itulah, bagi saya, Gibran termasuk orang yang tahu diri. Jika selama ini Gibran seringkali ketika ditanya soal kiprah politik dan bisnisnya menjawab pilih bisnis, maka itu wajar adanya. Karena Gibran memang punya mimpi, membangun Kota Solo melalui UMKM.
Walikota Surabaya Tri Rismaharani pernah berdiskusi mengenai sejumlah program di warung pecel di Solo. Menurut dia, cita-cita Gibran itu adalah ingin menumbuhkan UMKM di Kota Solo agar lebih maju jika terpilih dalam Pilkada 2020.
Kenapa Solo yang dipilih? Karena Gibran tak ingin menjadi generasi yang lupa dan tak paham sejarah dengan mengikuti kontestasi politik di kota lain atau bahkan langsung lompat ke pentas nasional.
Last, kenapa UMKM? Karena itu yang paling realisitis. Agar mimpi tak sekadar mimpi, Gibran pun sudah sejak lama merealisasikannya dengan sederet usaha yang pernah mangkal di pinggir jalan, lalu berkembang. Merasakan masa-masa sulit, mencari inovasi lalu melakukan pivot bisnis. Itu sudah biasa ia hadapi dan jalankan.
Para bijak bestari sering menuturkan, jika mimpi adalah kunci. Wujud kesadaran yang melahirkan generasi yang tak hanya siap menjadi pewaris sejarah. Namun juga sanggup memberi sumbangan pemikiran yang baru. Sehingga kehidupan masyarakat menjadi lebih kreatif, dinamis dan berkemajuan.
Namun yang paling penting, Gibran tak ingin rotasi kepemimpinan dalam wadah apa pun menjadi lambat. Ia juga tak ingin politik figur terlalu kentara. Karena itu, Gibran tak ingin cerita-cerita kelam termasuk soal dinasti politik di atas berkelindan dengan isu seputar regenerasi kepemimpinan. Menyatu dan membentuk simpul mati. Membuat demokrasi kehilangan separuh nafasnya. Sebaliknya Gibran ingin demokrasi memiliki nafas yang utuh dan panjang.