Orde Ekonomi Pasca Pandemi Covid-19
Normal baru dipahami sebagai perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal.

PEMERINTAH memastikan kehidupan “normal baru” di masa pendemi virus corona akan segera berlangsung. Normal baru dipahami sebagai perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19.
Menyambut datangnya era baru ini, Presiden Jokowi memulainya dengan mengunjungi stasiun MRT dan sebuah pusat perbelanjaan di Kota Bekasi beberapa waktu lalu. Dilihat dari pilihan lokasinya, pemerintah seolah ingin menyampaikan pesan bahwa aktivitas masyarakat, terutama ekonomi harus mulai berjalan kembali di tengah pendemi.
Ini bukanlah kebijakan yang hanya disuarakan oleh Indonesia. Pemerintahan di berbagai negara mulai menjalankan hal serupa. Malaysia misalnya telah membuka kembali perekonomiannya sejak 4 Mei 2020. Vietnam sudah lebih dulu membuka sejumlah bisnisnya pada 23 April 2020 setelah 22 hari me-lockdown negaranya.
Bedanya, di dua negara itu, kehidupan normal baru dilakukan setelah pemerintah relatif berhasil mengendalikan penyebaran virus lewat berbagai kebijakan, mulai dari melakukan test massal hingga kebijakan karantina. Hasilnya dibuktikan dengan menurunnya kurva orang yang positif terpapar virus maupun yang berhasil sembuh meskipun belum ditemukan vaksin.
Khusus dalam sektor ekonomi, pertanyaan pentingnya adalah kehidupan normal baru seperti apa yang akan dilakukan pemerintah dan dunia usaha? Apakah sekedar menerapkan protokol kesehatan: menjaga jarak, menyediakan tempat mencuci tangan di kantor atau pabrik, dan memakai masker selama beraktivitas?
Adakah pembelajaran yang mendalam atas kerapuhan sebuah tatanan ekonomi yang telah gagal menyediakan upaya perlindungan optimal bagi warga di masa krisis semacam ini. Jika tidak ada, saya khawatir kita melewati kesempatan berharga, meminjam istilah Buya Syafii Maarif sebagai agenda meluruskan kembali “arah kiblat” bangsa, terutama menjalankan sila ke-5 Pancasila yang belum membumi sejak masa kemerdekaan.
Normalisasi Krisis
Membaca berbagai ulasan mengenai dampak sosial dan ekonomi pandemi covid-19, terdapat benang merah yang jelas. Para ilmuan dan pengambil kebijakan menyepakati bahwa tatanan kehidupan baru akan terbentuk pasca pandemi Covid-19. Krisis pandemi dipandang suatu momentum untuk melakukan perubahan radikal dan membentuk kembali tatanan masyarakat untuk membangun masa depan yang lebih baik. Sebagaimana disampaikan oleh Olivier De Schutter, pelapor khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem dan Hak Asasi Manusia yang menyerukan dilakukannya suatu transformasi dalam masyarakat untuk lebih inklusif dan setara.
Pernyataan Prof. Shutter saya yakin bukan khayalan belaka. Sebagai seorang yang pernah menjabat sebagai pelapor khusus PBB untuk Hak atas Pangan, Shutter jelas bukan hanya ahli tetapi menyaksikan langsung bagaimana tatanan struktur ekonomi-politik dunia banyak memengaruhi kehidupan manusia dan alam.
Bencana kelaparan, perampasan lahan dan laut, liberalisasi pangan dan pertanian adalah isu-isu krusial abad ini yang berdampak besar bagi kemanusiaan. Model-model pertanian skala besar yang padat modal telah mengubah relasi manusia dengan alam dalam konteks penyediaan kebutuhan pangan, dari sekedar memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga menjadi bersifat akumulasi, instrumen spekulasi, dan semata berorientasi profit.
Shutter meyakinkan, ancaman resesi ekonomi dunia yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 merupakan peluang bagi negara untuk melakukan investasi lebih besar pada ekonomi hijau yang dapat menciptakan lapangan kerja dan kesetaraan.
Paradigma pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan alam dan keselamatan manusia harus ditinggalkan. Sekarang waktunya telah tiba, momentum untuk lebih serius menjalankan model pembangunan yang memasukan prinsip kelestarian lingkungan dan keadilan sosial sejak awal kebijakan tersebut dirumuskan.
Sejarah juga mengungkapkan pesan semacam ini. Krisis dan bencana yang terjadi di dunia telah terus-menerus menyediakan panggung untuk perubahan, seringkali justeru menjadi lebih baik. Ledakan besar epidemi flu Spanyol pada 1918 yang memakan korban hingga puluhan juta orang misalnya, telah mengubah wajah pelayanan kesehatan di dunia setelah itu. Dari yang sebelumnya ekslusif bagi segelintir elit dan mengabaikan orang miskin, menjadi lebih inklusif dan mengundang perhatian negara yang sangat besar.
Pada 1920an, banyak pemerintahan di dunia mulai menganut konsep pelayanan kesehatan yang inklusif. Rusia adalah negara pertama yang mengambil kebijakan untuk membuat sistem pelayanan kesehatan yang tersentralisasi melalui skema asuransi yang dibiayai sepenuhnya oleh negara. Sebuah langkah yang kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa Barat. Begitupun krisis kembar yang terjadi di dunia kala depresi besar dan perang dunia kedua terjadi, memicu panggung bagi lahirnya negara kesejahteraan modern seperti yang kita lihat saat ini.
Itu sebabnya harus dibentangkan jalan menuju perubahan mendasar yang baru, bukan sebaliknya kembali kepada kehidupan lama yang sesungguhnya tidak normal. Sebagaimana disebut oleh Naomi Klein (2020), kehidupan normal baru jika dimaknai semata hanya kembali kepada suatu tatanan status quo, sama saja kembali kepada krisis. Krisis ekonomi, krisis ekologi, krisis sosial dan ujungnya adalah krisis kemanusiaan.
Dunia yang kita tempati saat ini sesungguhnya telah mengalami krisis sejak lama, jauh sebelum pandemi Covid-19 datang. Orde ekonomi yang berlaku selama ini telah menetapkan standar yang jelas-jelas manipulatif, namun sudah kita anggap sebagai sebuah kewajaran. Seperti tergambar dalam wujud ketimpangan sosial, krisis ekologi, kemiskinan dan kelaparan di banyak negara di dunia ini. Suatu sistem yang mengarahkan pada jalur pemiskinan rakyat dengan membiarkan terjadinya penumpukan beban utang negara-negara miskin dan berkembang, serta privatisasi pelayanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan.
Dalam banyak hal, kita seringkali menganggap bahwa tatanan yang nilai-nilai dasarnya bersumber dari kapitalime ini sebagai sebuah kewajaran bahkan alamiah. Meminjam istilah Radhar Panca Dahana (2015), terjadi semacam “kesukarelaan alamiah” yang menciptakan kesadaran keliru (fake consciousness) bahwa tragedi yang tercipta dari kekelaman kapitalisme, yang menjadikan manusia sebagai budak dari kerakusan segelintir orang adalah takdir yang sewajarnya harus diterima. Semoga bangsa Indonesia tidak terlibat dalam kekeliruan berpikir semacam ini. Wallahualam.