Jalan Tengah Itu Bernama Pancasila

MONITORDAY.COM - Pancasila telah menjadi dasar falsafah negara (Philosophische Gronslag), ideologi dan pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa Indonesia. Istilah-istilah tersebut bisa dimaknai dengan merujuk pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Atas hal itulah beberapa hari yang lalu baru saja kita memperingati hari lahir Pancasila. Pancasila sebagai dasar falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi subjek yang vital karena Ia merupakan pondasi di negara ini.
Dimulai sejak abstraksi, narasi sampai menjadi politik kebijakan semuanya bersandar pada Pancasila. Maka tak ayal jika percakapan mengenai Pancasila tidak akan pernah habis karena kelihatannya menjadi isu perenial di kalangan warga bangsa Indonesia. Bisa dipastikan percakapan tentang subjek ini bakal terus berlanjut di masa depan.
Pancasila dinilai berhasil menjadi bahasa kosmopolitan yang menyatukan antar kelompok pada masa pra-kemerdekaan. Hal ini berarti bahwa bansa Indonesia memiliki perbedaan-perbedaan. Apakah itu perbedaan bahasa (daerah), suku bangsa, budaya, golongan kepentingan, politik, bahkan juga agama.
Artinya, bahwa para pemimpin bangsa terutama mereka yang terlibat dalam penyusunan negara sangat memahami betul denyut nadi keragaman yang ada dalam masyarakat Indonesia. Pada titik ini kita melihat bahwa Pancasila menjadi “berkah” bagi bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia dapat diproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun, dewasa ini rasanya persatuan yang dihasilkan itu sedang menghadapi satu tantangan yakni keterbelahan yang disebabkan oleh pengunaan simbolisme dan konsep agama dalam politik Indonesia masih menyisakan residu yang belum sepenuhnya hilang.
Fenomena “kembalinya agama ke kancah politik” membuat tantangan Pancasila menjadi semakin rumit dengan adanya semangat “kebangkitan islam” yang berusaha memberikan pemaknaan baru terhadap Islam.
Fenomena ini tergambarkan seperti dalam temuan survei yang dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta dan Convey Indonesia yang mengungkapkan adanya tantangan yang dihadapi oleh Gen Z yakni responden sejumlah 91,23% menyatakan kesetujuannya bahwa syariat islam perlu diterapkan dalam bernegara. Selanjutnya 61.92% dari responden juga memiliki pemahaman bahwa kekhalifahan merupakan bentuk pemerintahan yang diakui dalam ajaran Islam.
Tidak sampai disitu, 49% siswa dan mahasiswa menyatakan tidak setuju jika pemerintah melindungi penganut Syiah dan Ahmadiyah. Yang menakutkan lagi ialah 37.71% menyatakan setuju bahwa jihad adalah “qital” dan terutama ditujukan melawan non-muslim serta aksis teror bom bunuh diri merupakan jihad Islam. Sungguh angka yang mengerikan.
Maka wajar apabila kita melihat cita, aspirasi, dan realitas tersebut yang pada gilirannya membuat ekspresi Islam politik semakin terfragmentasi. Padahal perlu kita akui bahwa konsep klasik Darul Islam sudah tidak relevan lagi.
Tidak satupun negara Daulah Islamiyah menunjukan kemajuan melalui indikator-indikator makro yang mapan. Romantisme klasik itu kembali mengudara pada alam pikir kita karena kita terlalu lama hidup dalam kebanggaan masa lampau yang sudah hilang sementara gagal menghadapi kekinian.
Kecenderungan penguatan penggunaan simbolisme dan konsep agama nampaknya bukan hanya di Indonesia tetapi di negara dengan demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat saja fenomena ini lahir kembali.
Gejala kembalinya agama ke dalam politik jelas terlihat pada masa Presiden Ronald Reagen pada 1980-an sampai sekarang ditandai dengan maraknya fenomena “born again Christians” yang oleh kalangan Barat disebut sebagai “neo-cons” (neo-konservatif) yang memegangi gagasan “dunia harus diselamatkan” dari kekuatan jahat.
Dalam spektrum sebaliknya juga mencuat fenomena “fundamentalisme sekular” yang bukan sekadar pemisahan agama dengan politik, tetapi sekaligus ideologi anti agama dan anti kepemimpinan agama.
Dari perspektif ini pula percampuran antara agama dan politik dipandang pasti merupakan hal tidak logis, tidak normal, berbahaya, dan ekstrem, karena itu, kaum fundamentalis secular menuduh mereka yang membawa agama ke dalam politik sebagai seorang yang ektremis, fanatik dan fundamentalis agama.
Dalam Islam dan Konsep Negara: Pergulatan Politik Indonesia Pasca-Soeharto karya Prof Azyumardi Azra menjelakan bahwa pada masa modern-kontemporer, posisi dan hubungan antara agama dan negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk.
Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekular yang tidak bersahabat dengan negara (religiously unfriendly-secularism); kedua, pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology);
ketiga, penyatuan agama dengan negara. Merujuk pada tiga kategori tersebut, Indonesia masuk dalam ketegori pemisahan yang disertai persahabatan dengan agama karena pada kategori ini akomodatif terhadap negara dan agama.
Beruntunglah menjadi warga bangsa Indonesia dengan Pancasila yang “bersahabat dengan agama”. Pancasila tidak akan membawa kita pada posisi utopia untuk mengambil alih peran agama, karena memang bukan agama. Tetapi tidak juga teknis operasional seperti di jaman orde baru yang menjadi nilai-nilai represif untuk pandangan yang lain.
Pada saat yang sama menjadi tidak memiliki dasar pijakan historis-sosiologis jika ada diantara penyelenggara negara dan warga bangsa menjauhkan agama, apalagi menganggap agama sebagai momok dalam kehidupan kebangsaan.
Maka Pancasila sudah menjadi penengah karena akomodatif terhadap agama sehingga negara ini tidak akan berjalan utopia menjadi negara Islam dan juga tidak akan secular dengan pandangan liberal yang serba bebas dengan demokrasi dan HAM. Dan tidak bisa di ideologi negara diganti dengan iadeologi lain seperti komunisme.
Sekalipun harus diakui, sulit dan hampir tidak mungkin mencegah keterlibatan agama dalam politik. Indonesia memiliki middle ground di antara kutub-kutub ekstreem. Tetapi ditengah pertarungan “konservatifisme agama” dan “fundamentalisme sekular” itu kita punya jalan tengah bernama Pancasila.
Indonesia jelas bukan negara agama, persisnya “negara Islam” karena penduduknya yang mayoritas memeluk Islam. Pada saat yang sama, Indonesia juga bukan negara sekular karena Pancasila memberikan tempat resmi bagi agama-agama.