‘Ngepet Digital’: Tergiur Trading Ilegal dan Investasi Bodong

MONITORDAY.COM - Siapa yang tak tergiur jika ada iklan yang menawarkan keuntungan hingga USD 1000 per hari tanpa meninggalkan rumah. Banyak orang kepincut dan berakhir dengan posisi bangkrut. Kasus yang menjerat Indra Kenz sebagai afiliator Binomo dan Doni Salmanan sebagai afiliator Quotex menjadi ilustrasi bahwa banyak orang tergiur laba tanpa memahami risiko investasi. Ujung-ujungnya untung-untungan bukan untung beneran.
Publik masih harus menunggu bagaimana ujung dari kasus ini. Polisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Satgas Waspada Investasi, Bappebti dan para penegak hukum harus bekerja keras mengungkapnya dan menghadirkan keadilan bagi semua pihak. Seringkali dalam kasus investasi bodong, pencegahan dan penindakan terkesan lambat setelah banyak jatuh korban dan kasusnya viral.
Sebagian orang ingin berinvestasi karena memiliki uang dan tidak dapat memutarnya. Uang di tabungan seringkali menggoda untuk dibelanjakan, supaya tidak habis begitu saja maka sebaiknya diinvestasikan. Apalagi nilai uang kertas atau uang fiat selalu turun seiring inflasi.
Sebagian lagi berinvestasi karena butuh penghasilan dan tak memiliki usaha. Tentu sah-sah saja menginvestasikan modalnya pada usaha orang lain yang sudah berjalan dan memiliki prospek bagus. Investasi semacam ini banyak dilakukan secara langsung maupun melalui perbankan sebagai lembaga perantara dengan fungsi intermediasinya.
Investasi konvensional sering diwujudkan dalam bentuk emas, tanah dan bangunan, lukisan dan karya seni lainnya. Harga emas cenderung naik dalam jangka panjang. Di sisi lain emas mudah dijual alias likuiditasnya tinggi. Manakala diperlukan mendadak bisa segera diuangkan. Jika disimpan selama 10 tahun untuk tabungan persiapan biaya pendidikan emas juga tepat. Harganya masih relatif mengikuti kenaikan harga dan biaya hidup hingga biaya sekolah.
Demikian pula dengan investasi dalam bentuk tanah dan bangunan. Harganya cenderung naik dengan cepat. Maka sebagian orang rela membeli tanah dan rumah secara kredit demi mengejar lonjakan harga di kemudian hari. Sementara buat kalangan atas investasi juga sering diwujudkan dalam bentuk karya seni. Lukisan dan patung, misalnya, harganya dapat berlipat ganda seiring waktu karena nilai artistik dan kelangkaannya.
Meski relatif aman, semua instrumen atau jenis investasi konvensional tetap memiliki risiko. Misalnya tanah dan bangunan yang bisa saja hilang kalau tidak diurus dengan benar. Hal itu terjadi pada banyak orang hingga terkuak kasus mafia tanah. Tetiba ada pihak yang menguasai bahkan menjual tanah yang kita miliki.
Masa berganti, instrumen investasi pun berkembang. Deposito, reksadana, dan saham menjadi pilihan investor yang melek dengan literasi keuangan. Keuntungan yang ditawarkan berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi. Sejauh ini masyarakat Indonesia masih relatif sedikit yang memahami dan menggunakan tiga instrumen investasi tersebut. Justru banyak yang melompat ke produk investasi bodong karena janji keuntungan yang tinggi.
Uang yang fungsinya sebagai alat tukar justru diperdagangkan. Apa boleh buat valuta asing atau foreign exchange sudah menjadi bagian dari ekonomi dunia yang kapitalistik. Muncul pula bursa komoditas atau bursa berjangka dengan segala produk derivatifnya. Yang lebih mutakhir adalah aset digital atau aset kripto yang juga diperdagangkan di ranah perdagangan komoditas.
Publik perlu menyadari bahwa membangun usaha dan bekerja adalah jalan terbaik mencari nafkah. Berinvestasi dan mendapat passive income tidak hanya menjanjikan keuntungan namun juga risiko. Lebih baik berinvestasi pada usaha yang memiliki prospek jelas dan dijalankan dengan terbuka. Menjadi pengusaha dan membangun bisnis dari bawah lebih masuk akal. Dan itulah yang diperlukan oleh bangsa ini. Jumlah wirausahawan kita masih terlalu sedikit.