Narasi Kebisingan Elit Politik Negeri Ini

Situasi politik  nasional akhir-akhir ini kerap kali diwarnai kagaduhan-kegaduhan yang tak mendidik.

Narasi Kebisingan Elit Politik Negeri Ini
Ilustrasi oleh Jumardan Muhammad.

MONDAYREVIEW.COM – Situasi politik  nasional akhir-akhir ini kerap kali diwarnai kagaduhan-kegaduhan yang tak mendidik bagi pendewasaan demokrasi di negeri ini. Sikap saling curiga dan saling tuduh antar elit politik menjadi tontonan yang disajikan.

Pernyataan-pernyataan yang kontroversi dan menimbulkan polemik di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi hal yang mudah mereka lontarkan. Seolah-olah mereka tidak berfikir  dari apa yang mereka sampaikan akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan baru.  Seolah busur panah mereka lepas, yang menanjap dan melukai.

Sikap saling curiga dan fitnah itu bisa kita lihat dari pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Puyuono yang menyamakan Presiden Joko Widodo dan PDI Perjuangan seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Tuduhan tersebut karena hanya perbedaan pandangan partai pengusung pemerintah yang telah mengesahkan ambang batas pemilihan presiden dalam UU Pemilu. UU tersebut dinilai telah menipu dan merenggut hak konstitusi rakyat.

"Jokowi dan PDIP serta antek-anteknya membohongi masyarakat, dan kurang sampai otaknya tentang sebuah arti hak konstitusi warga negara dalam berdemokrasi. Jadi, wajar saja kalau PDIP sering disamakan dengan PKI, habis sering buat lawak politik dan menipu rakyat," kata Arie,  Senin (31/7).

Kendati Arief  telah meminta maaf secara resmi, pernyataan tersebut tidak mampu meredam kader PDI Perjuangan. Dan Akibat dari pernyaatan tersebut berbuntut panjang. Kader PDI Perjuangan yang merasa tersinggung dan terganggu dengan pernyataan Arief  membawa kasus ini ke ranah hukum dengan melaporkan politikus partai Gerindra ini kepada pihak yang berwajib.

Seolah gayung bersambut, pernyataan kontroversi dan menimbulkan polemik diutarakan oleh Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR, Viktor Laiskodat. Dalam pidatonya di acara deklarasi calon Bupati Kupang di Nusa Tenggara Timur 1 Agustus lalu sungguh sangat tidak pantas disampaikan. Politikus NasDem ini  menuduh bahwa gerakan khilafah yang disebutnya anti Pancasila itu didukung empat partai di Indonesia yaitu Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat.

"Sebagian kelompok ini yang hari ini mau bikin negara khilafah. Dan celakanya, partai-partai pendukungnya itu ada di NTT juga. Yang dukung supaya kelompok ini ekstremis tumbuh di NTT, partai nomor satu Gerindra. Partai nomor dua itu namanya Demokrat. Partai nomor tiga namanya PKS. Partai nomor empat namanya PAN. Situasi nasional ini partai mendukung para kaum intoleran," kata Victor dilansir dari sebuah video di Youtube.

Bahkan lebih memprihatinkan Viktor menafsirkan sendiri apa itu khilafah. "Mengerti dengan khilafah? Semua wajib salat, semua lagi yang di gereja. Mengerti? Mengerti? Negara khilafah tidak boleh ada perbedaan, semua harus salat," ujarnya.

Selain itu, Viktor juga berpesan dirinya tidak mentoleransi kelompok anti Pancasila. PKI sebagai partai terlarang disebutnya sebagai contoh. Sebagai pamungkas, dia mengkritik penolak Perppu Ormas.

"Saya tidak provokasi... Nanti negara hilang kita bunuh pertama mereka sebelum kita dibunuh. Ingat dulu PKI 1965? Mereka tidak berhasil, kita eksekusi mereka. Gue telepon lu punya ketua umum di sana, suruh you jangan tolak-tolak itu perppu yang melarang untuk perppu nomor 2 tahun 2017," pungkasnya.

Tentunya, pernyataan yang telah dilontarkan politikus NasDem ini menimbulkan ketegangan baru antar partai politik. Dan buntutnya dua partai yang disebut, yakni Gerindra dan PAN telah melaporkan Victor ke polisi.

Berpotensi Menimbulkan Konflik

Melihat prilaku para elit politik di negeri ini berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan yang telah terbangun kokoh selama ini. Narasi kebisingan yang mereka ciptakan sungguh akan berpotensi menimbulkan konflik. Pasalnya masing-masing partai yang disudutkan memiliki kader-kader militan yang rela berkorban untuk membela partainya.

Selain itu, bagi umat islam yang merasa terusik dengan isi  pidato yang dilontarkan oleh politikus Partai NasDem ini juga dapat melakukan hal-hal yang tidak diharapkan.

Kita semua tidak  ingin persatuan dan kesatuan  yang selama ini kita bangun bersama akan tergadaikan dengan ulah-ulah para elit politik yang hanya mengedepankan nafsunya saat berbicara. Elit politik seharus mampu menghadirkan komunikasi yang menyejukkan  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika terdapat perbedaan sikap harus disikapi dengan bijak dan dewasa.

Perbedaan pandangan dalam hidup berdemokrasi merupakan hal yang wajar. Sikapi perbedaan tersebut dengan argumen-argumen yang menyejukkan. Argumen yang membangun, bukan argumen yang justru akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang sejati argumen tersebut tak memiliki makna dan arti.

Maka itu, penulis berharap agar dua kasus ini segera diredam melalui jalur hukum. Dan bagi umat Islam yang merasa terganggu dan terusik dengan isi pidato salah satu elit politik di negeri jangan terprovokasi  dengan melakukan tindakan-tindakan yang akan memantik permasalahan-permasalahan baru.

Umat Islam yang merupakan bagian terbesar dari bangsa ini harus mampu menjaga kondisi bangsa agar berlangsung kondusif dan tetap utuh. Jangan sampai, gara-gara omongan Viktor Indonesia jadi berpolemik. 

Dan bagi pihak yang menciptakan kontroversi seharusnya segara melakukan klarifikasi secara resmi.  Dan memimta maaf kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Jadilah anak bangsa yang mudah meminta maaf. Sehingga polemik-polemik yang ada dapat cepat diredam, dan tidak berlarut-larut.

Masih banyak permasalahan bangsa yang belum tuntas diselesaikan. Seharusnya energi para elit politik di negeri digunakan untuk memecahkan permasalahan bangsa. Sehingga cita-cita bangsa ini, yakni kesejahteraan dan keadilan dapat segera terwujud.