Mungkinkah Rekonsiliasi di Jakarta?
Bisa jadi kesan terbelah, terpecah, hanya hadir di ranah media sosial dan dunia maya.

MONDAYREVIEW.COM – Saat debat final Pilkada DKI Jakarta pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menggunakan busana yang tidak biasa. Mereka menggunakan kemeja berwarna biru sembari menjelaskan maknanya.
“Kami hadir dengan baju biru, di luar kebiasaan kami yaitu atribut kampanye kami karena mengirimkan pesan bahwa kami sudah harus memikirkan bagaimana kami mempersatukan warga Jakarta melalui proses panjang ini,” kata Sandiaga Uno di Hotel Bidakara, Rabu (12/4) malam.
Hasil hitung cepat di berbagai lembaga survei menunjukkan pasangan nomor urut 3 ini unggul 15-18% dari pasangan Ahok-Djarot. Sementara itu KPUD DKI Jakarta jika tak ada aral melintang akan mengumumkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 pada 5 Mei 2017.
Pemilihan Umum merupakan mekanisme legal formal yang digunakan untuk memilih pemimpin. Ujian dari pelaksanaan demokrasi salah satunya ialah kesiapan untuk menerima hasil, sekalipun harapan tak sebanding dengan kenyataan. Siap kalah dan siap menang, bukan sekadar jargon yang layak disematkan kepada para kandidat. Melainkan juga kepada para pendukung kandidat.
Rekonsiliasi paripurna terjadi manakala pihak-pihak yang berseteru saling membuka diri dan tidak kukuh pada ekstremnya sikap. Ada titik tengah dan titik temu yang dicari. Nuansa rivalitas ditanggalkan. Dalam skala global apa yang dilakukan Nelson Mandela layak menjadi contoh, bagaimana politik Apartheid yang sekian lama membelit Afrika Selatan dipupuskan dengan rekonsiliasi.
Lalu mungkinkah rekonsiliasi terjadi di Jakarta? Yang pertama, bisa jadi sesungguhnya kondisi Jakarta tidak terbelah-terbelah amat. Simaklah bagaimana aman, tentramnya nuansa di tempat pemilihan umum pada 19 April 2017. Bisa jadi kesan terbelah, terpecah, hanya hadir di ranah media sosial dan dunia maya. Jika melihat unit analisa media sosial, memang terlihat bagaimana saling adu pendapat. Namun, jangan lupakan para buzzer yang turut memperkeruh lalu lintas dunia maya.
Dan nampaknya para buzzer sukar untuk melakukan rekonsiliasi. Buktinya dapat terlihat dari kicauan, pendapat mereka yang tetap saja tidak legowo dan memberikan analisa yang macam-macam. Jika berkaca pada buzzer, maka “perang pendapat” di media sosial masih akan tetap terjadi.
Yang kedua, dari karangan bunga yang menjadi hype, nuansa sukar move on didengungkan. Suka, tidak suka rakyat Jakarta telah memilih Anies-Sandi sebagai pemimpin terpilih untuk ibu kota RI. Disinilah diperlukan kedewasaan berdemokrasi dari pendukung Ahok-Djarot. Mulai Oktober 2017, Jakarta akan dipimpin oleh Anies-Sandi.
Bagi pendukung Anies-Sandi untuk tidak membelanya secara membabi buta. Dukung dan kritiklah secara proporsional. Bagi pendukung Ahok-Djarot untuk menerima hasil dan berlaku adillah sejak dalam pikiran.
Jakarta memiliki momentum untuk menjadi contoh bagi wilayah lainnya yang akan menghelat Pilkada pada 2018. Bahwa kontestasi pemilu boleh ketat, namun setelah itu substansi kerja akan terlaksana. Para warga dengan mendukung dan mengkritisi dengan takaran yang tepat. Pemimpin terpilih untuk mengaktulisasikan janji-janji kampanyenya dalam kenyataan.