Muhammadiyah Di Masa Orde Baru

Muhammadiyah Di Masa Orde Baru
Sumber gambar: klikmu

MONITORDAY.COM - Polemik mengenai pernyataan Menteri Agama mencuat di publik. Tak hanya itu, polemik kemudian melebar menjadi soal konflik klasik antara NU dan Muhammadiyah. Simpatisan dari kedua ormas Islam terbesar ini berdebat siapa yang paling berjasa dalam pendirian Kementerian Agama.

Dalam sebuah wawancara, putri almarhum Gus Dur mengatakan bahwa Muhammadiyah mendapatkan banyak keuntungan selama masa orde baru. Sebaliknya NU tidak mendapatkan perlakuan yang selayaknya dari pemerintah. Ungkapan ini seolah menjadi pembenaran bahwa pada masa reformasi, tidak salah jika NU memanfaatkan akses di pemerintahan untuk kepentingannya. 

Sebagai ormas Islam yang berpaham modernis, Muhammadiyah memang diuntungkan oleh situasi dan kondisi. Baik pada masa orde lama, maupun orde baru, kader-kader Muhammadiyah banyak yang berperan di dalam pemerintahan. Sebabnya bukan karena pemerintah mengistimewakan Muhammadiyah. Namun hal tersebut adalah konsekuensi logis dari pendidikan modern yang dibangun Muhammadiyah. Sementara itu, kelompok tradisionalis seperti NU masih harus mengejar ketertinggalan. Karena masih sedikit dari anggotanya yang mengenyam pendidikan modern. 

Namun benarkah ada perlakuan istimewa dari pemerintah pada masa orde baru bagi Muhammadiyah? Tesis mengenai adanya perlakuan khusus dari pemerintah disanggah oleh Dr. Ma'mun Murod Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta. Dalam tulisan berserinya yang dimuat pwmu.co, Ma'mun menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mendapatkan keistimewaan pada masa orde baru. Alih-alih diistimewakan, Ma'mun justru mengatakan bahwa NU yang mendapatkan keuntungan pada masa orde baru. 

Ma'mun menjelaskan bahwa jika memang Muhammadiyah mendapatkan banyak ghanimah dari pemerintahan pada masa orde baru, seharusnya mudah bagi para pemimpin Muhammadiyah pada masa itu untuk bermewah-mewahan. Seluruh ketua umum PP. Muhammadiyah pada masa orde baru semuanya bergaya hidup sederhana. KH. Ahmad Badawi, KH. Faqih Usman, KH. AR. Fachruddin, KH. Ahmad Azhar Basyir dan Prof. Amien Rais semuanya hidup sederhana. 

Selanjutnya Ma'mun membantah bahwa secara politik Muhammadiyah diuntungkan dan NU termarjinalkan. Kenyataannya Muhammadiyah selalu kalah dalam politik dari NU. Pasca pembubaran Masyumi, Kader Muhammadiyah membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Jenderal Lukman Harun. Namun Parmusi berhasil direbut oleh Jelani Naro yang merupakan suruhan dari rezim yang berkuasa. 

Saat hasil Tanwir Muhammadiyah merekomendasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN), setelah Amien Rais ketua umum PAN tidak ada yang benar-benar berasal dari kader Muhammadiyah. Sebaliknya jika dibandingkan dengan PKB, walaupun PKB sempat mengalami perseteruan antara Cak Imin dengan Gus Dur, namun pecahan partai yang terbentuk semua dipegang oleh kader NU tulen. Hal ini menurut Ma'mun membuktikan dibanding NU, Muhammadiyah tidak piawai dalam politik. 

Dengan fakta-fakta tersebut, jelas bahwa posisi Muhammadiyah dalam orde baru tidak diistimewakan. Adapun banyak kadernya yang masuk menjadi birokrat pada masa itu adalah buah pendidikan modern yang selama ini dibangun.