Muhammadiyah Dan Pertempuran Narasi Dakwah di Sosial Media

Muhammadiyah Dan Pertempuran Narasi Dakwah di Sosial Media
Agus Sudibyo saat memaparkan materi Digitalisasi dan Demokrasi pada Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah/ Tangkapan Layar Youtube

MONITORDAY.COM - Muhammadiyah belum optimal dalam upaya memenangkan pertempuran narasi di media digital atau new media. Gagasan Islam berkemajuan dan moderasi Islam tersisih oleh konten-konten dengan warna konservatisme dan Islam politik yang kental

Hal tersebut terungkap dalam sesi pertama Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah yang terselenggara pada (10/3/2022) secara hybrid. Ismail Fahmi, Mukhlas, Agus Sudibyo, dan Wahyudi hadir sebagai narasumber yang mengupas tema Media, Digitalisasi, dan Dakwah Muhammadiyah.  

Dalam seminar tersebut dipaparkan beberapa gagasan, koreksi, dan rekomendasi bagi Muhammadiyah agar mampu mengoptimalkan dakwahnya seiring dengan digitalisasi yang mendorong disrupsi di segala lini kehidupan masyarakat. Monitorday.com merangkumnya dalam catatan berikut ini.  

Pertama, khalayak, terutama netizen, mendapatkan pemahaman keislaman dari kalangan dai influencer. Dai yang memiliki banyak follower di media digital. Otoritas dan organisasi keagamaan yang secara kelembagaan relatif besar dan mapan justru tertinggal. Dai yang bergerak individual atau didukung dengan tim kecil justru lebih lincah dan konsisten kehadirannya di jagad maya. 

Terkenal hanya di dunia maya dan tidak berbuat di dunia nyata tentu harus dihindari. Namun kehadiran Muhammadiyah di dunia maya dalam menjelaskan berbagai persoalan umat tentu sangat penting sebagai organisasi dakwah, organisasinya para dai.  Menurut Wahyudi, ada kontestasi alghorithmic otoritas keagamaan dimana netizen lebih banyak mendengar dari kelompok tertentu yang relatif kecil dibanding Muhammadiyah dan NU. 

Kedua, narasi Islam moderat kalah oleh narasi radikal, konservatif, dan Islam politik. Netizen terfragmentasi dalam kubu ideologis yang tidak sehat dan tidak rasional. Ismail Fahmi menemukan fakta bahwa terkait dengan narasi dakwah netizen terbelah menjadi 3 yakni mereka yang pro-khilafah, pro-pemerintah, dan pro-oposisi. Isu Islam moderat cenderung tenggelam dalam pertempuran narasi tersebut.  

Ketiga, kebenaran tak diukur dari substansi namun dari popularitasnya. Ini mendorong terjadinya fenomena matinya kepakaran. Bahkan, menurut Mukhlas, para pakar dan kalangan intelektual kampus pun banyak yang terjebak dan terbawa arus yang membawa kematian kepakaran tersebut. 

Keempat, demokrasi di era digital harus memperhitungkan praktik-praktik propaganda komputasional. Hal ini diungkapkan oleh Agus Sudibyo yang memberi ilustrasi terkait peran Rusia dalam mempengaruhi politik Amerika Serikat. Menurutnya, keterbelahan dalam pemilu AS belakangan baru disadari sebagai hasil dari praktik propaganda akun-akun abal-abal yang dibuat oleh beberapa perusahaan asing di beberapa negara. Entitas pengganggu demokrasi AS tersebut terkait dengan Pemerintah Rusia.     

Kelima, lingkaran sistemik digitalisasi yakni Internet of Things (IoT, Cloud Computing, Socmed, Bigdata) tercipta dan menjadi bagian dari keseharian kita termasuk dalam aktivitas religiusitas kita. Kini kita temui orang mengaji, membaca kitab suci dari piranti atau media digital. Kenyataan ini menimbulkan ketergantungan yang sangat besar pada dunia digital 

Keenam, ordinary people atau orang awam hanya menguasai 5% dari penggunaan dunia digital alias lebih banyak jadi pengguna. Sebagai ilustrasi, pengguna internet hanya paham bagaimana mengoperasikan zoom, namun tidak mengetahui bagaimana zoom melakukan survei digital dan data mining.  Georg Simmel mengingatkan bahwa  ‘dimana ada praktek publik yang bersifat rahasia, di sana ada kejahatan tersembunyi”. Posisi  asimetris dalam akses terhadap informasi menjadi potensi kejahatan. Itulah mengapa beberapa negara Eropa melakukan dan mengkampayekan diet penggunaan sosial media.   

Ketujuh, ada persinggungan antara ritual keagamaan dengan artificial intelligent. Sehingga muncul gagasan jumatan online, haji metaverse, hingga halal dating online. Hal ini menjadi tantangan bagi Muhammadiyah untuk menjawab dan mensikapinya. Disamping perdebatan fikih, tentu ada diskusi menarik terkait realitas dakwah. Haji metaverse dapat menjadi solusi sementara bagi kaum muslimin yang relatif lama menunggu giliran berhaji. Halal dating online menjadi skema yang efektif dalam mencari pasangan hidup dan membina rumah tangga Islami. 

Dari berbagai catatan tersebut, Muhammadiyah menghadapi tantangan besar. Sebagian elemen Muhammadiyah telah menyadari kondisi ini dan mulai bergerak memperbaiki pola-pola dakwah agar tidak terdisrupsi oleh realitas digital.