Muhammadiyah Aid Terjunkan Tim 9 Ke Bangladesh
Bersama relawan lokal dan Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) di Medical Centre yang Tim 9 berkoordinasi untuk melangsungkan program dengan masa pelayanan selama 15 hari, dari 9 Januari - 24 Januari 2018.

MONDAYREVIEW.COM, Bangladesh – Misi kemanusiaan di Cox’s Bazar, Bangladesh masih terus berlanjut pasca peristiwa memilukan yang menimpa muslim Rohingya di Myanmar. Dinyatakan gelombang pengungsi Rohingya sebanyak 313.000 yang melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Sementara jumlah total pengungsi 785.000 jiwa di negara itu.
Sampai saat ini, para pengungsi di Camp Balukhali, Cox’s Bazar mendapatkan bantuan dan pendampingan kesehatan dari berbagai lembaga kemanusiaan dunia, termasuk Muhammadiyah Aid. Sebelumnya, pada 27 September 2017, Muhammadiyah Aid membuka posko layanan kesehatan di Camp Thangkali, Cox’s Bazar, Bangladesh.
Menurut dokter Corona Rintawan, Tim Muhammadiyah Aid yang diterjunkan langsung adalah Tim 9. Target tim ini adalah evaluasi program dan menyiapkan solusi yang strategis. “Dibahas juga kemungkinan memperpanjang program kemanusiaan sampai dengan 8 bulan ke depan, dari rencana awal 6 bulan, mengingat kondisi terakhir di Bangladesh,” jelasnya.
Koordinator misi kemanusiaan Muhammadiyah Aid ini menuturkan, kondisi di sana berdasarkan tim yang ada di lapangan sedang terjadi kasus outbreak difteri. “Jadi tim merespon cepat terhadap berkembangnya kasus difteri di pengungsian,” paparnya. Persiapan khususnya melalukan penyaringan kasus (screening) awal, lanjutnya.
Sebetulnya sudah disiapkan sejak awal bulan Desember, karena memang banyak sekali kasus yang menimpa anak-anak, maka dalam Tim 9 ada dokter spesialis anak, salah satunya relawan tim medis dari Aceh, Aslinar sebagi dokter spesialis anak.
Untuk keberangkatan kali ini, menurut dokter Aslinar yang berada di lokasi pengungsian khususnya di Jamtholy, Muhammadiyah Aid melakukan pelayanan kesehatan. Kehidupan para pengungsi memang sangat tergantung dari bantuan orang lain maupun lembaga kemanusiaan.
“Karena para pengungsi memang hanya diperbolehkan beraktivitas di wilayah seputaran tenda pengungsian saja,” paparnya. Tidak diperbolehkan untuk keluar dari wilayah tenda pengungsian.
Selama di Bangladesh, Muhammadiyah Aid juga bersinergi dengan organisasi kesehatan internasional UN melalui WHO membahas wabah Difteria yang terjadi di lingkungan pengungsian. Beruntung tenaga medis di sana, kata dokter Aslinar pernah bekerjasama dalam tugas di Banda Aceh pasca-Tsunami pada Desember 2004.
Hal senada disampaikan Fotografer Muhammadiyah Aid, Pepi Perdiansyah, bahwa sudah ada perubahan yang cukup berarti di camp pengungsi dibanding kondisi pada saat pertama kali saya datang ke Cox's Bazar, namun perubahan itu masih bertahap.
“Nyatanya juga masih banyak tenda-tenda pengungsian yang jauh dari layak huni, apa lagi kondisi sekarang bulan Januari sampai awal Maret diperkirakan kondisi cuaca sangat dingin,” pungkasnya.
Cuaca di Bangladesh siang hari suhu 18 derajat celcius, sore hari suhu 12 derajat celcius, dan di malam hari lebih dingin. Kegiatan sehari-hari pengungsi sekadar menghilangkan jenuh. Mereka bermain sepak bola, tua – muda berusaha bergembira.
Sementara kegiatan keagamaan berjalan rutin, dengan berdirinya masjid darurat di setiap blok. Apa yang dilakukan Muhammadiyah Aid, minimal berusaha berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk kemanusian.
Bersama relawan lokal dan Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) di Medical Centre yang Tim 9 berkoordinasi untuk melangsungkan program dengan masa pelayanan selama 15 hari, dari 9 Januari - 24 Januari 2018.
[Na/Ra]