Impor Beras, antara Kepentingan Petani dan Stabilitas Harga
impor beras

Di warung-warung kecil, yang menjadi langganan rakyat kalangan menengah ke bawah, beras ditransaksikan dalam satuan liter. Saat ini, di beberapa warung dan toko beras eceran di Jakarta pembeli dihadapkan pada harga beras pada kisaran Rp 9.000 hingga Rp 11.000 per liter. Bila 1 liter dikonversi dalam kilogram, maka 1 liter beras ekuivalen dengan 0,75 kg atau 7,5 ons saja. Artinya beras seharga Rp 11 .000 per liter ekuivalen dengan Rp 14.700 per kilogram. Tentu angka kasar ini untuk mempermudah hitungan awam tentang harga beras. Harga ini cukup menyentak kalangan ibu rumah tangga.
Tingginya harga di tingkat eceran inilah yang membuat pemerintah merasa harus mengambil kebijakan impor. Alasan pemerintah terkait kebijakan impor ini sebagaimana yang dikemukakan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukito, dilakukan untuk menstabilkan harga beras yang cenderung meningkat (Kamis, 11/1/2018). Awal 2018, pemerintah membuka keran impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand. Kebijakan ini tentu dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan mengendalikan inflasi. Kenaikan harga beras juga akan atau bisa berpengaruh terhadap berbagai kebutuhan pokok lainnya.
Gejolak harga beras dinilai pengamat sebenarnya sudah terjadi sejak medio 2017. Juli hingga Agustus 2017 harga gabah sudah mencapai Rp 4.500 per kilogram hingga Rp 5.000 per kilogram. Harga gabah yang demikian sebenarnya cukup menolong usaha tani. Bila tingkat rendemen 65%, maka petani akan menjualnya dalam bentuk beras seharga Rp 7.700 per kilogram. Di sisi yang lain, harga gabah tersebut dinilai memicu tingginya harga beras di tingkat pemasok dan eceran. Setelah melewati rantai distribusi terbentuklah harga di tingkat eceran. Kenyataannya, harga beras medium di DKI Jakarta saat ini mencapai Rp 13.500 hingga Rp 14.000 per kilogramnya.
Swasembada pangan, khususnya beras menjadi salah satu target pemerintahan Jokowi-Jk. Kementerian Pertanian (Kementan) menjadi ujung tombak dalam mewujudkan hal tersebut dalam kerangka memperkuat Ketahanan Pangan Nasional. Hal yang tidak mudah mengingat konsumsi beras per-kapita Indonesia masih di kisaran 139 kg, jauh di atas negara-negara lain yang sudah di bawah 100 kg per-kapita. Kementerian Pertanian hingga saat ini mengklaim Indonesia mengalami surplus beras sebesar 329.000 ton pada Januari 2018. Data ini tentu saja perlu dicermati dengan serius. Karena gejolak harga masih saja terjadi sebelum musim panen tiba. Dengan mengacu data BPS, sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi beras sekitar 2,5 juta ton.
Data 15 Januari 2018 yang dirilis kementerian Pertanian menyebutkan bahwa harga eceran beras di tingkat kabupaten/ kota menunjukkan angka yang masih dibilang stabil. Untuk kabupaten Merangin harga beras medium Rp 10. 000 sementara beras premium Rp 12.000. Tidak jauh berbeda dengan di Banyuwangi dimana harga beras medium Rp 10.000 dan beras premium Rp11.500.
Bergeser ke kawasan tengah dan timur Indonesia, harga beras juga dinilai masih terkendali. Kab. Sumbawa beras medium Rp 9.100 beras premium Rp 10.100. Kab. Bima harga beras medium Rp 9.000 dan beras premium Rp 11.000. Untuk Kab. Kapuas beras medium ada di kisaran harga Rp 9.600 agak jauh terpaut dengan harga beras premium yang ada di level Rp14. 600. Di Kab. Hulu Sungai Utara harga beras medium Rp 9.000 dan beras premium Rp12. 500. Kab. Tojo Una Una harga beras medium Rp 9.800 dan harga beras premium Rp12. 000,
Di sisi lain, petani dan usaha tani juga sangat rentan dengan gejolak harga. Impor beras diperkirakan akan menekan harga gabah saat panen raya yang akan segera tiba. Bila harga Gabah Kering Giling (GKG) mencapai Rp 4.000 per kilogram maka bila panen bagus dan petani bisa mendapat hasil bersih 7 ton per hektar maka pendapatan dari panen padi aka nada di kisaran Rp 28.000.000 per ha. Bila biaya produksi mencapai 6 juta Rupiah dan biaya sewa lahan 9 juta Rupiah per tahun (atau ekuivalen dengan 3 Juta Rupiah untuk 1 kali masa tanam), maka usaha tani masih akan mendapatkan keuntungan 19 Juta Rupiah atau ekuivalen dengan 4,75 Juta Rupiah per bulan.
Tapi realitas di lapangan seringkali berbeda. Biaya produksi terutama bibit dan obat-obatan pertanian melambung karena kelangkaan. Harga sewa lahan juga meningkat dari tahun ke tahun. Dan resiko gagal panen selalu mengintai baik karena hama maupun perubahan iklim. Petani dan usaha tani tak jarang harus gigit jari. Apalagi bila terpukul oleh harga Gabah Kering Giling yang merosot di saat musim panen raya. Maka, kebijakan impor beras yang mendekati panen raya bisa dinilai terlambat kalau sudah memasuki medio Pebruari yang sudah memasuki masa panen raya.