Mimpi Lama Reforma Agraria

PANGGIL saja namanya Johan. Kulitnya hitam legam terbakar matahari. Selepas mengajar, dia biasa langsung terjun bercocok tanam. Menanam murbei dan membina sejumlah petani di Gunung Manik, Kabupaten Kuningan.
Ketika menjadi salah satu narasumber dalam acara diskusi virtual Kopi Pahit bertajuk “Jokowi Bongkar Ketimpangan SDA” Senin (10/1) kemarin, Johan buka suara soal lika likunya mengembangkan tanaman murbei yang viral itu.
Jauh sebelum sukses mengembangkan jenis tanaman perdu itu, Johan sempat mendapati usahanya sempat layu sebelum berkembang. Selain karena persoalan bibit, juga lahan yang sulit. Banyak lahan tidur namun urusan perizinannya sulit minta ampun.
“Awalnya saya hanya nyoba budidaya murbei atau berry. Ternyata, rasio kematian bibit sampai 50 persen. Saya coba lagi dengan memanfaatkan lahan tidur dan akhirnya berhasil bahkan viral,” tutur suami dari Arie Sustio Utami ini.
Johan juga bilang, dirinya begitu sumringah setelah mendengar berita Presiden Jokowi yang menghapus ribuan izin hak pengelolaan lahan negara. Itu karena ia langsung terbayang dengan para petani binaannya di Gunung Manik, Kabupaten Kuningan yang selama ini mengalami ketidakpastian dalam menggunakan lahan pertanian.
“Saya sangat mengapresiasi, kebijakan Pak Presiden ini cukup bagus. Apalagi seperti kami lihat dan saksikan sendiri di desa binaan kami di Gunung Manik, itu ada ketidakpastian soal lahan. Selama ini mereka ya asal garap saja. Tidak pernah tahu mana batasan lahan garapan mereka dengan wilayah hutan negara,” ujar Johan.
Persoalan ketimpangan agraria memang sudah mengakar kuat. Lama sekali persoalan ini sekadar jadi bahan diskusi minim eksekusi. Pemberian lahan oleh negara terjadi sejak lama dan dilakukan secara sah namun tidak adil. Terakhir seperti disampaikan Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas maupun Menteri Hukum dan HAM Mahfud MD, bahwa ada persoalan ketimpangan agraria yang mengakar. Persoalan ini lantas jadi bahan perdebatan khalayak ramai di dunia maya.
“Ini merupakan satu kebijakan yang berani, tegas, dan penting untuk menjawab masalah yang selama ini sudah kita diskusikan, untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan agraria.”
Solusi ketimpangan agraria
Gayung bersambut, Presiden Jokowi lantas mengeluaran kebijakan mencabut ribuan izin pengelolaan lahan negara. Menanggapi hal itu, Ketua Harian KNTI, Dani Setiawan menilai kebijakan ini menjadi salah satu langkah penting dalam upaya mengatasi persoalan agraria di Indonesia.
“Ini merupakan satu kebijakan yang berani, tegas, dan penting untuk menjawab masalah yang selama ini sudah kita diskusikan, untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan agraria,” kata Dani, dalam diskusi yang sama.
Menurut Dani, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi adalah mendorong agar masyarakat Indonesia dapat menguasai faktor-faktor produksi. Hal ini sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi, UUD 1945 Pasal 33.
"Inilah yang sebenarnya menjadi problem pokok dari masalah-masalah kemiskinan, ketertinggalan, diskriminasi dan sebagainya, karena umumnya penguasaan faktor-faktor produksi itu terjadi secara timpang atau mengalami kesenjangan. Bukan hanya pada konteks lahan, tetapi juga ketimpangan-ketimpangan di sektor yang lain," jelasnya.
Karena itu, Dani mengatakan, adanya kebijakan pencabutan izin penggunaan jutaan hektar lahan itu menjadi penting karena tanah sebagai satu faktor produksi yang penting dan menjadi kunci untuk menjawab problem kesenjangan yang dialami oleh masyarakat Indonesia.
"Ini satu hal yang perlu dikawal, karena saya kira tujuan awal pemerintah memang melakukan evaluasi terhadap tata kelola lahan kita ini untuk mendorong keadilan ekonomi, agar masalah ketimpangan agraria itu bisa diselesaikan," ujar Dosen FISIP UIN Jakarta ini.
Adapun terkait redistribusinya, Dani berharap lahan-lahan tersebut didistribusikan untuk meningkatkan kesejahteran rakyat, dan artinya, masalah-masalah yang dihadapi oleh petani dan masyarakat secara umum bisa dijawab oleh kebijakan pemerintah.
"Jadi puluhan ribu atau bahkan jutaan hektar yang sudah dicabut izinnya ini harus didistribusikan sebagian besarnya untuk petani, untuk masyarakat yang tidak punya tanah, untuk UKM, untuk koperasi, untuk masyarakat adat atau untuk pemilik-pemilik kapital," paparnya.
Surya Tjandra adalah Wakil Menteri ATR/BPN, dalam kesempatan yang sama dia menjelaskan bahwa kebijakan pencabutan dan evaluasi perizinan sesungguhnya sudah lama diinginkan Presiden Jokowi. Karena Jokowi sangat konsen terhadap situasi dimana ada banyak lahan yang izinnya diberikan tidak digunakan secara efektif.
“Jadi memang mimpinya sudah lama, namun menguat di pertengahan tahun 2020. Lalu memerintahkan menteri terkait untuk melakukan evaluasi perizinan, apa sesungguhnya persoalannya. Lalu dimintakan solusi konkritnya seperti apa,” ujar Surya Tjandra.
Menurut Tjandra, mimpi besar reforma agraria sebetulnya sudah ada sejak tahun 1960. Lalu masuk dalam TAP MPR di tahun 2000. Namun, kata dia, baru masuk jadi kebijakan negara secara benar di tahun 2014 dalam Nawacita. Lalu tahun 2015 baru masuk RPJMN, dan 2018 keluar Perpresnya.
“Jadi baru efektif diupayakan sekitar tiga tahun belakangan saja. Lebih spesifik baru dua tahun ini ada Wamen yang mendalami masalah ini,” ujar Surya.
Baik kebijakan pencabutan ribuan izin pengelolaan lahan yang dikeluarkan kemarin, maupun sejumlah upaya yang selama ini dilakukan Presiden sebetulnya hanya upaya menabuh gong-gong kecil untuk menyelesaikan persoalan reforma agraria yang lebih besar.
Tjandra ingat betul ketika ia pertama kali interview dengan Presiden Jokowi. Dirinya sempat bertanya soal pentingnya penyelesain persoalan agraria. Menurut Jokowi, kata Tjandra, Reforma Agraria merupakan persoalan besar, karena itu perlu hati untuk menyelesaikannya.
Belakangan, Tjandra juga menyadari bila selain hati ia juga butuh kolaborasi. Sebagai contoh selain kebijakan terbaru ini, kata Surya, Presiden pernah mengumpulkan beberapa NGO dan KPK untuk diminta membawa kasus konflik agraria yang tengah diadvokasi.
Dari situ, terpilihlah sekitar seratusan kasus yang kemudian menjadi prioritas penyelesaian pemerintah. Lalu dicarikan solusinya. Ini dilakukan karena persoalan agraria butuh upaya besar dan bersama. Tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri.
Jadi, kata Surya, contoh-contoh penyelesaiannya sudah diperlihatkan Presiden. Tinggal kemudian Kementrian ATR/BTN dan pemangku kebijakan lainnya untuk melakukan terobosan lebih besar dan tegas lagi.
Menurut Tjandra, salah satu contoh terbaik bagaimana kolaborasi mampu menyelesaikan persoalan ketimpangan agraria adalah di Papua Barat. Dimana pemerintah daerah kerja sama dengan masyarakat sipil, dibantu KPK melakukan evaluasi 500 ribu hektar perkebunan sawit. Hasilnya ada ratusan ribu hektar perkebunan kelapa sawit yang ternyata melanggar izin dengan berbagai tipologi.
“Atas evaluasi KPK diputuskanlah ada 200 ribu hektar yang dicabut izinnya,” ujar Surya.
Reforma agraria kontekstual
Jadi intinya, menurut Surya, agar sumber daya alam yang terbatas bisa betul-betul menjadi sumber untuk pemerataan dan keadilan dan diproses secara transparan jika sesuai dengan amanat di Pasal 33 ayat 3 UUD’45 yang mengatakan, “Bumi, Air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.”
“Jadi ketemu banyak situasinya, dan sebagian saling terkait. Seperti ada izin usaha pertanian, jadikan yang mengeluarkan izin adalah Kementerian Pertanian. Kemudian ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan. Proses berlanjut ke Pemerintah Daerah. Kemudian baru ke Badan Pertanahan Nasional untuk pengajuan HGU. Jadi Perlu waktu untuk koordinasi,” ujarnya.
Surya menjelaskan, selama ini pendekatan yang dilakukan hanya memperhatikan konservasi, lingkungan, keanegaragaman hayati saja. Padahal, ada yang namanya faktor manusia. Misalnya soal sosial, budaya serta ekonomi khas masyarakat di wilayah tertentu.
Maka dari itu, Reforma Agraria perlu mempertimbangkan konteks yang dimulai dari pemetaan sosial dan spasial wilayah. Sejauh ini, Kementerian ATR/BPN melalui Kantor Wilayah (Kanwil) Provinsi Papua telah melakukan perjanjian kerja sama dengan bupati di wilayah tersebut. Kerja sama ini bertujuan agar terjadi overlay antara hasil temuan masyarakat sipil yang melakukan pemetaan wilayah adat dengan apa yang menjadi tugas Kementerian ATR/BPN dalam mencatatkan seluruh bidang tanah.
“Kementrian ATR/BTN mendapat tanggungjawab untuk menyiapkan Reforma Agraria kontekstual.
“Kementerian ATR/BPN mendapat tanggung jawab untuk menyiapkan Reforma Agraria kontekstual. Jika yang dimaksud adalah Reforma Agraria Kontekstual Papua, itu artinya kita ingin melakukan penghormatan, perlindungan, dan pengakuan terhadap masyarakat adat,” pungkasnya. [ ]
Penulis: Faisal Ma'arif
Editor: Umar Said, Taufan Agasta, Renol Rinaldi