Merdeka Belajar: Seni Memulihkan Manusia
Merdeka Belajar yang dirilis Mendikbud Nadiem Makarim kian menuai dukungan. Pendiri Jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM), Tamsil Linrung salah satunya. Bagi Tamsil, Merdeka Belajar itu seni memanusiakan manusia.

SYAHDAN, Presiden Indonesia ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika melakukan kunjungan ke Kota London pernah bertanya kepada duta besar setempat, “ada berapa banyak mahasiswa dari Indonesia yang kuliah disini?”
“Sekitar 2800 mahasiswa,” jawab Duta Besar. Tepuk tangan pun bergemuruh, hadirin terpukau dengan angka fantastis tersebut.
Presiden SBY lantas kembali bertanya, “kalau negara tetangga kita Malaysia, ada berapa banyak mahasiswanya di London?”
“Ada sekitar 3200,” jawab Duta Besar.
Mendengar jawaban tersebut Presiden SBY beserta hadirin pun langsung terdiam dan ‘sesak nafas’. Betapa tidak, negara dengan jumlah penduduk sebanyak 250 juta jiwa, tapi jumlah mahasiswanya di Kota London ternyata hanya 2800 orang. Sementara negeri jiran Malaysia, negara dengan jumlah penduduk 25 juta saja, mahasiswanya bisa sebanyak 3200 orang.
Tamsil Linrung adalah anggota DPD RI sekaligus pendiri jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM). Ketika berdiskusi santai di Jalan Ciater Raya, Serpong, Tangerang Selatan, dia mengisahkan jika peristiwa di Kota London tersebut ia dapati sewaktu masih menjabat sebagai anggota badan anggaran DPR RI sekira tahun 2004.
Tamsil yang ketika itu juga duduk di Komisi X DPR RI tentu tahu betul perihal kondisi tersebut.Menurutnya, minimnya jumlah mahasiswa yang belajar di luar negeri adalah karena pengurusan izin studi yang memang begitu rumit dan birokratis. Belum lagi, kata dia, dana pedidikan yang kurang memadai untuk melayani 250 juta penduduk Indonesia.
“Birokratisasi pendidikan kita ini tidak memajukan pendidikan,” tutur Tamsil.
Karena itulah, dirinya bersama Hari Azhar Aziz mendorong supaya dalam mandatory spending harus ada yang namanya endowment fund atau dana abadi pendidikan untuk memudahkan para pelajar kita belajar ke luar negeri.
“Alhamdulillah Pak Harry Azhar Aziz dan saya sendiri untuk menginisiasi dan mendorong endowment fund tersebut, untuk kali pertama alokasi dananya sebesar 1,5 triliun,” kenang Tamsil.
Bersama Hari Azhar Aziz, Tamsil terus melakukan pengawalan agar dana abadi pendidikan tersebut terus meningkat. Hingga akhir jabatannya, dana abadi pendidikan tersebut sampai pada angka 31 triliun rupiah. Lalu kini, kabarnya, dana tersebut sudah mencapai 60-an triliun rupiah.
Menurut Tamsil, dengan adanya dana tersebut maka sudah tidak ada lagi mestinya cerita anak-anak Indonesia yang harus putus sekolah lantaran tidak ada biaya atau kesulitan birokrasi. Apalagi, kata Tamsil, kini ada Mas Menteri Nadiem Makarim yang dengan kebijakan-kebijakan barunya sehingga tidak ada keraguan untuk melaksanakan mandatory spending tersebut.
“Dahulu kita sering mengeluhkan, jika mandatory spending ini terlalu besar sementara implementasinya tidak memperlihatkan hasil yang memadai,” ujar Tamsil.
Bayangkan,kata Tamsil, kalau setiap tahun kita mendapatkan 500 triliun untuk anggaran pendidikan, lalu kita pun bertanya apa hasil dari anggaran triliunan tersebut. Tapi, dengan adanya kebijakan Mas Menteri seperti saat ini, maka akan cepat terlihat hasilnya.
Tamsil Linrung ingat betul jika dirinya pernah suatu kali berdiskusi lama dengan menteri keuangan perihal mandatory spending tersebut. Kesimpulannya, kata Tamsil, mereka memintanya untuk realistis saja. lantaran implementasi dari anggaran yang ada selama ini memang tidak memadai.
“Saya pernah berdiskusi lama dengan Menteri Keuangan, saya pernah memimpin badan anggaran DPR, berbicara soal mandatory spending, dan jawabannya Menkeu minta saya menyudahi diskusi lantaran tidak ada gunanya,” ujar Tamsil.
Karena itu, Tamsil pun merasa salut kepada Mas Menteri Nadiem Makarim yang sudah berhasil meyakinkan Menteri Keuangan soal pengelolaan keuangan pendidikan.
“Salut dan salam hormat kepada Mas Menteri Nadiem Makarim. Karena dia bisa meyakinkan Menteri Keuangan soal alokasi dana pendidikan ini,” tutur Tamsil.
Bagi Tamsil, keberhasilan Mas Nadiem bukan hanya karena berhasil meyakinkan Menkeu tentang alokasi dana pendidikan saja, tapi juga meyakinkan publik soal bagaimana pendidikan bisa kembali ‘memanusiakan manusia’.
Menurut Tamsil, dirinya dahulu seringkali membaca buku-buku tentang keluar sekolah, karena merasa happy belajar di luar sekolah. Tentu saja ini bukan berarti sekolah tidak penting, namun lebih kepada diberikannya tempat bagi mereka-mereka yang ingin pendidikan diselenggarakan tidak secara kaku.
“Dulu, saya seringkali merasa lebih happy belajar di luar sekolah. Padahal, itu tidak dibenarkan dalam sistem pendidikan kita. Tapi melalui Mas Nadiem, pikiran-pikiran seperti itu diakomodasi. Kini ada tempat bagi mereka yang tidak ingin terlalu kaku melaksanakan proses belajar mengajar,” ujar Tamsil.
Praktisi pendidikan dan Ketua Yayasan Lazuardi, Haidar Bagir, dalam bukunya bertajuk ‘Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia’ menyebut pendidikan sebagai kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati.
Kesimpulan Haidar Bagir tersebut lahir dari keyakinannya bahwa suatu saat orang akan percaya bahwa kebahagiaan terletak dalam hidup sebagai manusia, manusia biasa, yang lahir keluarbiasaannya justru karena dia hidup sebagai manusia biasa.
Juga karena ia melihat kehidupan bukan sebagai gelanggang pertarungan memojokan dan menyingkirkan orang lain demi kepuasan diri. Yang keahliannya lahir dirawat oleh vocation (panggilan jiwa), yang mendorongnya belajar terus kemana-mana, yang profesionalismenya lahir dari cinta (passion) pada pekerjaan dan konsumen karyanya. Dalam bahasa Mendikbud saat ini, disebut sebagai ‘Merdeka Belajar’.
Ya, Merdeka Belajar sejatinya sesuatu yang simple, tidak njelimet dan menjemukan. Merdeka Belajar, kata Tamsil, mestinya seperti ketika saya mendirikan sekolah Insan Cendekia Madani di Serpong, Tangerang Selatan. Niat dan tujuannya sangat sederhana.
Bagi Tamsil, yang penting bersih, tidak kumuh, gurunya sejahtera, serta para siswa bisa nyaman dan happy belajar. Tapi dalam perjalanan, seiring berjalannya waktu, berdirilah Insan Cendekia Madani versi saat ini. Sekolah yang mengedepankan keilmuan dan teknologi sebagai pusat lahirnya insan-insan cendekia dari seluruh penjuru negeri yang senantiasa memiliki daya pikir cerdas dan luhur.
Sama seperti ‘Merdeka Belajar’ yang dirilis Menteri Nadiem Makarim, sekolah Insan Cendekia Madani menurutnya lahir terutama agar bisa membuat para peserta didik merasa bahagia dan merdeka selama mengikuti proses belajar dan mengajar.
Merdeka Belajar. Kata Tamsil, merupakan seni untuk memulihkan manusia, solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa sekaligus mensejahterakan warganya.
Tamsil pun merasa yakin, jika kebijakan ‘Merdeka Belajar’ dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Apalagi, kata Tamsil, Menteri Nadiem sudah mengeluarkan kebijakan ‘Merdeka Belajar’ episode keempatnya, yaitu Sekolah Penggerak.
Dengan program ini, Tamsil sangat berharap bisa melakukan kerjasama untuk mengapresiasi para guru dan tenaga pendidikan lainnya. “Caranya bisa memberikan mereka workshop atau peningkatan kapasitas yang bisa meningkatkan kualitas mereka. ICM siap menjadi centre untuk meningkatkan kompetensi mereka,” pungkas Tamsil.