Menyoal Konsep Sekolah Tanpa Hukuman

Jika negara saja sudah mulai memikirkan ulang tentang hukuman, lalu kita sebagai orangtua dan pendidikan masih berpikir bahwa hukuman alat yang baik untuk pendidikan?

Menyoal Konsep Sekolah Tanpa Hukuman
Ilustrasi foto/Net

KEDISIPLINAN dan hukuman memang seumpama dua sisi mata uang saat ini. Keduanya seolah tak dapat dipisahkan. Makanya, ketika saya atau siapa pun menuliskan sebuah konsep sekolah tanpa hukuman, dapat dipastikan saya akan segera diberondong sejumlah pertanyaan, "Apakah mungkin anak bisa disiplin tanpa hukuman?" atau "Allah saja dalam al-Qur’an memberlakukan hukuman, masa kita tidak boleh menerapkan hukuman dalam pendidikan?"

Masalah ini sebetulnya telah menjadi polemik sejak dulu dalam dunia pendidikan. Makanya saya lebih senang mempelajari bukti dan data. Ketimbang berdebat soal polemic tersebut. Dalam skala negara saja (yang jelas-jelas ada konsep hukum pidana) konsep hukuman sudah bergeser. Sudah cukup data yang membuktikan bahwa hukuman yang bersifat punitive (seperti pemenjaraan) terbukti gagal menurunkan angka kriminalitas. Sebaliknya hukuman yang bersifat corrective dan restorative terbukti berhasil.

Jika negara saja sudah mulai memikirkan ulang tentang hukuman, lalu kita sebagai orangtua dan pendidikan masih berpikir bahwa hukuman alat yang baik untuk pendidikan?

Lincoln Alternative High School, di Washington mendapat banyak liputan pers setelah mereka berhasil menurunkan tingkat kekerasan, perkelahian antar siswa dan perilaku buruk siswa hingga 75% dalam waktu tiga tahun. Rahasianya, sekolah ini mengubah pola hukuman pada siswa dengan positif disiplin yang menitikberatkan pada cinta (bukan hukuman) dan penghargaan (respect) bukan hadiah (reward).

Positif disiplin, kini menjadi konsep yang berkembang dan banyak diterapkan dalam dunia pendidikan. Kata positif di depan kata disiplin, menggambarkan bahwa selama ini kita menyalahfahami tentang konsep disiplin yang justru berakibat negatif.

Dalam bukunya "Positive Discipline Tools for Teachers, Effective Classroom Management for Social, Emotional, and Academic Success" Jane Nelsen menjelaskan sejumlah riset yang menunjukkan bahwa hukuman dalam pendidikan bukan saja tidak berhasil mendisiplinkan siswa, tetapi juga menyisakan empat efek buruk yang disebut 4R:

1. Kebencian (resentment): "Ini nggak adil, saya benci orang dewasa!"

2. Pemberontakan (rebelion): "Saya akan melakukan yang sebaliknya, saya akan buktikan bahwa cara saya lebih benar daripada cara mereka!"

3. Balas dendam (revenge): "Ok, sekarang mereka menang, tapi lihat nanti pembalasanku!"

4. Reatreat (mundur), ada dua sikap: a. sembunyi-sembunyi: "Lain kali saya nggak akan ketahuan" b. menghukum diri: "Saya memang nakal, saya memang nggak berguna!"

Empat respons terhadap peraturan ketat yang berkonsekwensi hukuman di atas bisa menjelaskan banyak fenomena. Misalnya, ada istilah dalam bahasa sunda "siga kuda kaluar tina gedogan" sebuah istilah yang biasa dinisbatkan pada para lulusan pesantren yang biasa hidup ketat di pesantren atau sekolah asrama tapi justru setelah keluar mereka berteriak merdeka dan bisa melakukan apa saja yang tidak mereka bisa lakukan selama di pesantren.

Saya cukup kaget dengan hasil penelitian Dr. Agus Abdurrahman, Dekan Fakultas Psikologi UIN SDG Bandung, mengenai perilaku seks para lulusan pesantren. Penelitian ini menunjukkan bahwa keadaan baik-baik saja selama di sebuah lingkungan yang penuh dengan aturan belum tentu membuat seseorang tetap baik-baik saja saat di luar dengan aturan dan norma yang lebih longgar. Kondisi ini mirip dengan orang singapura yang sangat disiplin menjaga kebersihan di negaranya, tetapi saat di Batam mereka buang sampah sembarangan.

Lalu pertanyaannya, apakah dalam pendidikan kita membiarkan anak-anak kita berbuat semuanya tanpa hukuman? Cara berpikir ini yang menjerumuskan kita pada sikap permisif, segala boleh. Ini adalah sisi ekstrem lain dari hukuman. Sama-sama tidak efektif.

 

[Mrf]