Menyikapi Musibah Secara Arif

Mereka yang berpandangan bahwa musibah (misalnya yang terjadi di Sulawesi Tengah) adalah siksaan sebagai akibat dari kesalahan pemerintah, misalnya, adalah pandangan yang tidak berdasar.

Menyikapi Musibah Secara Arif
ilustrasi foto/Net

ISTILAH Musibah berasal dari Bahasa Arab. Sekarang sudah menjadi kausa kata Indonesia. Akan tetapi maknanya sudah bergeser. Dalam bahasa kita, kata musibah ini lebih banyak dipahami sebagai kejadian yang menyedihkan dan tidak diharapkan terjadi baik skala kecil maupun besar. Misalnya saja cidera karena jatuh, kematian hingga bencana alam yang dahsyat yang mengakibatkan jatuhnya korban dalam jumlah yang besar, kerusakan alam yang masif, kerugian ekonomi yang besar dan juga kerusakan infrastruktur. Tidak sedikit juga orang yang mengartikan musibah di atas itu sebagai Adzab, sebagaimana yang akhir-akhir ini muncul karena ulah pemerintah atau siapa saja yang tidak bertanggung jawab.

Musibah itu sesuatu yang terjadi dan menimpa seseorang atau banyak orang. Kejadian itu bisa baik dan bisa buruk. Dalam al-Qur'an banyak ayat yang menjelaskan soal ini. Memang ada pengertian bahwa musibah itu al-Baliyyah atau sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, kemalangan, kematian dan sebagainya sebagaimana yang diurai di atas.

Berbeda sekali dengan Adzab. Adzab itu artinya peringatan, siksaan dan hukuman karena kezaliman. Adzab itu hukuman yang diberikan kepada siapa saja yang telah melakukan perbuatan dosa. Adzab itu diberikan di akhirat disiksa di neraka. Tapi memang ada Adzab di dunia. Contohnya, hukuman kepada narapidana. Setiap kejahatan itu, ada balasan di dunia dan juga akhirat. Jadi, secara konseptual musibah dan adzab itu berbeda. Mereka yang berpandangan bahwa musibah (misalnya yang terjadi di Sulawesi Tengah) adalah siksaan sebagai akibat dari kesalahan pemerintah, misalnya, adalah pandangan yang tidak berdasar.

Hal yang sangat penting sekarang ini adalah; Pertama, bagaimana menyikapi peristiwa musibah dan seluruh ketetapan atau Takdir Allah yang akan menimpa kepada siapa pun. Sebagai orang beragama, haruslah mengimani bahwa Allah memang Pemilik dan Penguasa terhadap apa saja yang ada di alam ini. Kekhusyuan berdoa dan kedekatan dengan Allah musti ditingkatkan. Musibah itu, baik musibah yang baik maupun yang tidak baik, adalah ujian. Bagi mereka yang memiliki ketangguhan, akan lulus. Bagi mereka yang tidak tangguh dan menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain dan menyalahkan Tuhan, tidak akan lulus.

Kedua, spirit kemanusiaan tolong menolong, solidaritas, ta'awun harus dibangun dan diwujudkan kepada siapa saja, apapun latar belakangnya, yang mengalami kemalangan. Membiarkan kemalangan orang lain selain bertentangan dengan ajaran agama, juga bertentangan dengan Pancasila dan kemanusiaan. Menyalahkan atau mengkambinghitamkan seseorang, kelompok dan lembaga sebagai pihak yang bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya malapetaka juga sikap yang tidak mulia. Kita harus menghargai siapa saja yang telah ikut serta secara tulus menggerakkan aktivitas kemanusiaan pasca bencana dan me-recovery kerusakan lingkungan dan infrastruktur yang diakibatkan oleh bencana. Ini adalah tugas kekhalifahan yang mulia.

Sudarnoto Abdul Hakim

Assisten Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional, Ketua Dewan Pakar Fokal IMM