Puisi Sukma yang Penuh Tanya

Sukmawati sudah meminta maaf dan mengaku tidak bermaksud melecehkan umat Islam. Lalu, kenapa tidak cukup memberi maaf?

Puisi Sukma yang Penuh Tanya
Sukmawati

MONDAYREVIEW- Sukmawati sudah meminta maaf atas puisinya “Ibu Indonesia” yang menyinggung umat Islam.  Dalam konferensi pers yang digelar Rabu kemarin, Sukmawati sempat menangis. Ia mengaku tak berniat menghina umat Islam. “Saya seorang muslimah dan bangga dengan keislaman saya,” kata putri Soekarno ini. Sukmawati juga menyebut mendiang ayahnya, Soekarno adalah tokoh Muhammadiyah.

Puisi yang dibacakan di atas panggung Fashion Show 29 tahun Annie Aventie Berkarya,  menurut Sukmawati, murni karya sastra. Dalam puisinya, Sukmawati menyebut wanita berkonde lebih indah dari wanita bercadar, dan suara kidung ibu Indonesia lebih indah dari suara azan.

Meskipun sudah meminta maaf, Sukmawati tetap dilaporkan oleh beberapa kalangan ke Polda Metro Jaya karena dianggap telah melakukan penistaan agama. Polisi tengah diuji untuk bertindak adil terhadap kasus ini. Beberapa tokoh masyarakat, seperti Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah berharap kasus ini cukup diselesaikan secara kekeluargaan, tidak perlu ditempuh jalur hukum.

Puisi merupakan salah satu ekspresi nilai yang diyakininya. Namun, kalau bukan Sukmawati, tentu tidak akan terlalu membuat geger.  Apalagi, momentum tahun politik saat ini bisa saja dimanfaatkan oleh siapa saja untuk menaikan citra diri, atau menjegal ideologi lawan politiknya demi meraih simpati rakyat.

Apakah Sukmawati sudah memprediksi bluder politik ini? Atau ia begitu yakin puisinya hanya barisan kata sebagai ekspresi jiwa semata?

Tentu, kita tidak tahu isi hati orang. Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam sempat marah kepada sahabatnya, Usamah bin Zaid karena membunuh pasukan dari Bani Huraqoh, yang melarikan diri dan saat terpojok sempat berucap Laa Ilaaha Illa Alloh. Usamah  berdalih,”Wahai Rasululah, ia mengucapkannya sekedar untuk melindungi dirinya.”

Dalam hadist riwayat Muslim, Rasululloh sempat berkali-kali bertanya,” Apakah ia sudah mengucapkan Laa Ilaaha Illa Alloh, namun enkau tetap saja membunuhnya? “, hingga Usamah pun berharap andai saja ia baru masuk Islam pada hari itu.

Rasululloh sempat bersabda, “Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau mengetahui apakah hatinya mengucapkan Laa Ilaaha Illa Alloh karena ikhlas ataukah karena alasan lainnya?”.

Kemarahan Rasulullah sangat dimaklumi, karena pribadi beliau yang pemurah terhadah sesama. Rasulullah menyerukan kepada umatnya, untuk berbaik sangka dan meninggalkan buruk sangka. Keluhuran akhlak Rasulullah ditunjukan saat menaklukan kota Mekah pada tahun 8 H. Rasulullah tidak menghukum satu pun kafir Quraish, yang dulu telah menganiaya bahkan berencana membunuhnya.

Umat Islam adalah umat pemaaf. Karena, maaf, orang yang tadinya dihukum Qhishoh (hukuman mati), bisa dibebaskan dari jeratan hukum, jika keluarga korban memaafkan si pelaku pembunuhan. Inilah syariat Islam. Pertanggungjawaban di dunia dianggap selesai, tentu masih ada perhitungan lain di akhirat kelak dari Alloh Azza wa Jalla.

Bagaimana dengan hukum di negeri ini, apakah setelah Sukmawati meminta maaf, kasusnya selesai? Polisi memang tidak bisa mengenyampingkan aduan masyarakat, sebagaimana yang dulu juga menimpa Ahok. Namun, benarkah Sukmawati menistakan agamanya sendiri?

Dalam puisi “Ibu Indonesia”, Sukmawati memulai dengan kata-kata,” Aku tak tahu Syariat Islam.” Mungkin ini bisa menjadi celah, untuk membebaskan dirinya dari jeratan hukum,

Di media sosial, Puisi Sukmawati dibalas warganet, dengan ramai membuat puisi, “Kalau engkau tak tahu syariat islam, seharusnya engkau belajar bukan berpuisi, harusnya bertanya bukan malah merangkai kata tanpa arti...”, tulis Felix Siauw.

Zak Sorga pun membuat puisi dengan judul Sukma Mati, “Sukma mati raga mati fikiran mati rasamu mati harga diri mati kau berjalan bagi zombie kau khianati negeri sendiri kau hujat syariat Islam yang suci seolah-olah kau bertangan besi ingin memadamkan cahaya Ilahi...”

Puisi Sukmawati yang sudah dibukukan dalam kumpulan puisi tahun 2006 ini, tentu membuktikan Sukmawati telah lama memendam cara pandang yang salah terhadap syariat Islam, bahkan identitas budaya negerinya sendiri. Konde dan sanggul yang dulu dikenakan oleh Kartini, adalah simbol kaum borjuis. Tak ada rakyat jelata yang mengenakannya. Sedangkan, di era modern, konde dan sanggul hanya dikenakan di acara-acara khusus.

Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, saat ini tentu lebih akrab dengan pakaian muslim, seperti jilbab atau kerudung daripada konde atau sanggul. Umat islam sudah terbiasa mendengar sehari lima kali, alunan azan dikumandangkan dimana-mana, bahkan beberapa televisi swasta ikut menyiarakan azan setiap maghrib dan subuh.

Setiap orang tentu berhak memilih dalam beragama. Bahkan, meskipun mengaku sebagai muslim, tidak dipaksa untuk menjalankan syariat islam. Misalnya, tidak mau menutup aurat sebagai kewajiban dan identitas kehormatan seorang muslimah, atau tidak terpanggil untuk menunaikan shalat, ketika mendengar suara azan, sebagai wujud rasa syukur terhadap Sang Pencipta.

Mungkin, Sukmawati terinpirasi dengan mendiang ayahnya, Bung Karno yang lebih mengedepankan esensi dan substansi Islam ketimbong simbol Islam. Dalam bukunya, Islam Sontoloyo (1940), Bung Karno menulis bahwa fikih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak dalam ketundukan kita punya jiwa pada Allah. “Fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid, akhlak, kebaktian ruhani, kepada Allah,” tulisnya.

Kemudian,  Bung Karno pun menulis dua sumber utama Islam adalah Kalam Allah dan Sunah Rasul. Dari dua sumber utama ini pula kita mesti menyalakan api Islam. “Al-Quran dan Hadits itu tidak berubah. Bahkan teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas. Tapi pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi, dinamis, mengalir, “ tulis Bung Karno.

Sebagai seorang muslimah, Sukmawati tentu tidak akan tersesat, jika merujuk pada Alquran dan Sunnah. Untuk bisa memahami Islam, tidak membaca tulisan sang ayah, tapi bertanyalah kepada para ulama.