Baim Wong, Ruang Digital dan Pancasila Kita

Sistem ketatanegaraan terlanjur salah kaprah, sehingga upaya menata supaya ke jalur yang benar sejalan jiwa, pikiran, dan cita-cita kenegaraan pada 18 Agustus 1945 menjadi penting.

Baim Wong, Ruang Digital dan Pancasila Kita
Ilustrasi foto/Net
“Selamat ulang tahun Pak Jokowi! Presiden terbaik pilihan saya di era sekarang.”

SEKILAS pintas, tak ada yang salah dengan penggalan kalimat tersebut. Hanya sekadar ucapan selamat ulang tahun untuk Presiden Jokowi, tanggal 21 Juni kemarin. Faktanya, ucapan serupa mengalir deras di kanal-kanal digital dan tak jadi soal.

Namun sialnya, ketika itu disampaikan oleh seorang Baim Wong, pengaruhnya ternyata luar biasa, mengguncang ruang digital sekaligus membuat periuk nasi menjadi terancam.

Sejatinya, siapa pun yang mengucapkan kalimat tersebut tak menjadi soal. Namun, keterbelahan akibat Pilpres 2019 ternyata masih kental terasa. Akibatnya, Baim Wong mendapat efek negatifnya. Gegara ucapan itu, sejumlah penggemar yang anti pemerintah, mengancam dan memutuskan untuk unsubscribe akun Youtube dan IG-nya.

Sungguh tak disangka, ucapan selamat ultah dari Baim Wong ke orang nomor satu di Indonesia itu ternyata malah dihujat habis oleh para penggemarnya yang memiliki haluan berbeda dengan penguasa.

Baim Wong pun, sempat jadi trending topik di lini Twitter pada Senin (22/06/2020) malam. Pihak Baim Wong bahkan terpaksa harus menonaktifkan kolom komentar di unggahannya tersebut lantaran sudah tak kondusif dan mengarah pada ancaman.

Karena diancam oleh pengikutnya tersebut, Baim langsung mengubah keterangan pada unggahannya yang didedikasikan untuk Presiden Jokowi itu. Unggahan itu pun kini tersisa kalimat “Selamat Ultah Pak Presiden (disertai emoji hati).”

Belakangan, Baim Wong tiba-tiba mengunggah sebuah foto kebersamaannya dengan Ustadz Felix Siauw. Ditenggarai, upaya tersebut untuk meredam dan menenangkan sebagian penggemarnya yang juga menggemari ustadz muda kontroversial tersebut.

Gaduh di Ruang Digital

Baim Wong tentu tak sendirian, ada banyak orang yang juga mengalami kejadian serupa. Ini semakin menguatkan anggapan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi realitas baru di era digital yang sangat ‘mengkhawatirkan’.

Relasi sosial dalam bingkai kebangsaan kita telah banyak dipengaruhi oleh hiruk pikuk dan dinamika sosial di ruang digital. Sayangnya, hiruk pikuk itu terlalu dipenuhi oleh narasi-narasi negative.

Sehingga, baik suara nyaring atapun senyap di ruang digital kerap berubah menjadi suara miring bila tidak direspon dan dikelola dengan bijak dan tepat. Saat narasi negatif berkembang dan menunjuk hidung kita, sikap diam seringkali malah menjadi kontraproduktif.

Karena temali emosi kemudian membentuk jejaring pembenaran di kanal-kanal digital tersebut. Sebaliknya ketika suara kita nyaring namun miskin data dan argumentasi yang lemah, maka temali emosi melahirkan sentimen publik yang kuat.

Disinilah pentingnya mengelola atau bahkan memberikan ‘narasi alternatif’ di ruang-ruang digital. Artinya, mesti kita pahami, jika tidak cerdas dalam menyikapi dinamika sosial di ruang digital maka yang terjadi adalah pendegradasian nilai dalam konteks berbangsa dan bernegara. Isu nyinyir, pemikiran menyimpang, ujaran kebencian dan permusuhan, serta hoaks pun tumbuh kian subur. Lalu menjadi virus yang buruk bagi generasi milenial.

Kalau saat ini ada hiruk-pikuk, dinamika, pergerakan, atau bahkan perlawanan sosial, maka yang paling mungkin dapat menimbulkan perubahan sosial adalah berasal dari kanal-kanal digital.

Pancasila Kita

Termasuk soal nasib Pancasila kita. Perdebatan RUU HIP yang saat ini riuh ramai menjadi sangat berisik tidak hanya di ruang digital, tapi bahkan di ruang-ruang analog. Salah satunya diperlihatkan dari apa yang dialami Baim Wong tersebut.

Ya, semangat reformasi, kebebasan, keterbukaan dan demokratisasi ternyata tidak terlalu cukup membuat bangsa ini berangsur bangkit dari ketertinggalannya atas bangsa-bangsa yang lain, yang muncul justru rakyat mengalami trauma untuk menggerakan kebebasan dan keterbukaan pada orang lain. Tuntutan reformasi dan kebebasan secara sporadis telah mengeskavasi arkeologi identitas ke-Indonesian kita.

Sementara itu ketika kita belum juga siap dan memiliki skema baru identitas ke-Indonesian dalam menghadapi tuntutan tersebut, rakyat terpencar dan identitas diri tak terselesaikan, alih-alih mengarah pada sejenis fragmentasi yang membuat identitas menutup diri lalu pergi sepenuhnya ke lain arah menuju dogma dan paksaan keyakinan.

Inilah yang berbahaya, karena fragmentasi akan menumbuhkan kejumudan. Sama seperti konsekuensi alienasi historis yang membuat suatu masyarakat bukannya membuka diri, malah mulai menggali sejarah untuk melegitimasi kepentingan kelompok, agama, etnis dan golongannya masing-masing.

Beberapa persoalan seperti munculya kasus penistaan agama, aksi saling melaporkan oleh berbagai pihak baik terkait pilkada ataupun lainnya dinilai lebih mengedepankan spirit primordialisme, parokial, xenocentrisme atau bahkan etnosentrisme, serta mematikan multikulturalisme yang sebetulnya menghendaki the other culture untuk sama rata sama rasa dan untuk hidup serta eksis dengan wacana dan rasionalitas masing-masing.

Apakah betul fenomena tuntutan itu sebagai kekerasan rasionalitas dan mematikan yang lain, atau justru itu sudah cukup realistis dan proporsional? Wallahu a’lamu, siapa yang tahu dan nyatanya tak banyak yang tahu bahkan bisa menjawab permasalahan ini.

Haedar Nashir adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam sebuah artikelnya di Koran Republika, dia menyampaikan sejumlah kerisauan yang sama. Indonesia saat ini makin gaduh, banyak bermasalah dengan isi perundang-undangan; RUU HIP, Omnibus Law, UU Minerba, UU Ormas, dan tentu saja soal Pancasila.

Menurut Haedar Nashir, ini bermula dari Amandemen UUD 1945. Kata dia, sejak reformasi itulah Indonesia benar-benar menjadi bangsa dan negara yang bebas dan terbuka di bidang politik, ekonomi, budaya, keagamaan, ideologi, dan aspek kehidupan lainnya.

Dan saya setuju, soal pentingnya menata kembali sistem ketatanegaraan yang terlanjur salah kaprah ini ke jalur yang benar sejalan jiwa, pikiran, dan cita-cita kenegaraan pada 18 Agustus 1945. MPR dapat menjadi mediator dialog nasional yang strategis ini. Bila perlu bangun consensus nasional baru.

Untuk memulainya, Ketua MPR mestinya mendatangi Baim Wong, bukan Rafi Ahmad. Agar pesan mediasi untuk perbaikan ketatanegaraan ini lebih sampai di ruang-ruang digital.