Galau Elite Demokrat
Partai Demokrat didorong untuk memunculkan poros ketiga, untuk kualitas demokrasi dinamis.

MONDAYREVIEW - Jelang Pilkada Serentak dan Pilpres 2019, para tokoh politik nasional sepertinya tengah dilanda sindrom dilema dan galau. Galau dan dilemma lantaran partainya masih menghadapi proses gugatan di Bawaslu maupun PTUN, belum menemukan pendamping yang pas, atau galau karena dilemma untuk menentukan sikap antara ikut koalisi atau membuat poros kekuatan politik baru seperti dialami elite Partai Demokrat.
Ya, SBY dan Demokrat, mungkin adalah yang paling galau saat ini. Ini lantaran sejak lengserdari kekuasaan dan Pilkada DKI 2017, Demokrat memilih untuk menjadi partai tengahan ketimbang memihak salah satu kubu politik.
Ditambah lagi dengan sejumlah kasus hukum yang menyeret sejumlah elite partai berlambang merci ini. Paling mutakhir dan menyita perhatian, adalah disebut-sebutnya nama SBY dalam kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Karena kelewat galau itulah, mungkin, SBY pun Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuntuk Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) untuk Pemilukada 2018 dan Pilpres 2019.
AHY yang mendapat mandate itu pun langsung gerak cepat, dan melakukan beberapa kali safari politik ke beberapa tokoh nasional. Atas keputusan itu, banyak pihak menilainya secara positif. Ketua Umum Partai Hanura misalnya, yang menilai upaya AHY itu sebagai langkah yang tepat untuk AHY. Ketua DPD itu menilai, sikap AHY yang sering bertemu dengan sejumlah elite partai itu dianggap sebagai bentuk tata krama politik. Dan bisa menjadi teladan bagi tokoh-tokoh muda lainnya yang memiliki impian terjun di dunia politik.
“Sinyal yang saya tangkap bahwa dia (AHY) seorang anak muda yang mau mengikuti tata krama politik. Sah bagus-bagus saja. Saya senang kalian (wartawan) sebagai anak muda sama kayak dia (AHY) juga,” ucapnya.
Namun tak sedikit pula yang menilai, upaya tersebut sebagai bentuk kegalauan elite Demokrat dalam menghadapi peta politik terkini. Apalagi dengan sejumlah kasus hukum yang menyeret namanya, seperti e-KTP. Membuat elite demokrat kian bingung menentukan arah.
Yang terpenting dari Demokrat saat ini, adalah menentukan sikap, antara ikut penguasa atau memilih menjadi oposisi. Sepintas, peran oposisi dalam konstalasi politik paling mutakhir memang seolah tak berarti, karena koalisi parpol di legislatif yang mendukung pemerintah kian kuat dengan suara mencapai 69 persen. Ini terlalu kuat.
Namun sejatinya, politik praktis dalam kondisi apa pun meniscayakan apa yang disebut Claude Levi-Strauss sebagai ‘oposisi biner’. Bagi Strauss, oposisi biner merupakan ‘the esensi of sense making’, yaitu struktur yang mengatur sistem pemaknaan kita terhadap budaya dan dunia tempat kita hidup. Oposisi adalah sebuah keniscayaan. Ketimbang menjadi partai tangahan yang malah menjadi ‘anomalous category’.
Camback Politik
Dengan situasi yang tengah dihadapi Partai Demokrat saat ini, menarik untuk mencermati skenario politik ala Wakil Ketua Bidang Politik dalam Negeri, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Priyo Budi Santoso. Skenario ini disebut Priyo dapat mengembalikan jati diri Demokrat sesungguhnya.
Dengan melihat konstalasi politik yang ada, memunculkan poros ketiga adalah langkah yang cukup realistis, sehingga menjadi tiga calon. Hal itu mungkin terjadi, karena MK sudah memutuskan dan Undang-Undang memungkinkan hal tersebut.
“Jika poros itu muncul, mungkin dimotori oleh Demokrat, PKB, dan PAN, kalau Prabowo Gerindra dan PKS juga mencalonkan,” imbuh Priyo.
Menurut Priyo, skenario tersebut mempunyai resiko. Namun yang lebih baik bagi demokrasi menurut Priyo adalah jika adanya poros ketiga, atau tiga calon. Karena akan dapat mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi.
Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Parahyangan pun memiliki pendapat yang senada. Menurutnya Partai Demokrat dapat keluar dari stigma ‘anomalous category’ Jika elite Partai Demokrat mulai realistis, bila saat ini mereka bukan lagi partai penguasa. Termasuk soal sikap politiknya dalam menghadapi proses-proses demokrasi; baik Pilkada Serentak 2018, maupun Pemilu 2019.
Tak ada pilihan lain, Partai Demokrat harus melakukan camback politik. Tegas menetukan sikap, sambil memunculkan tokoh-tokoh baru di luar AHY sekalipun. Agar kelak bisa menjadi jembatan informasi dari ide dan gagasan besar SBY dan Partai Demokrat.
[Mrs]