Prospek Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut

Rumput laut adalah salah satu sumber pangan dan nutrisi penting dan akan semkian penting di masa yang akan datang. Rumput laut atau alga telah lama menjadi salah satu produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Bangsa-bangsa di Asia Timur (Jepang dan China) dan Kekaisaran Romawi telah menggunakan tumbuhan laut ini sebagai bahan pangan dan obat-obatan sejak ribuan tahun yang lalu.

Prospek Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut
ilustrasi rumput laut/ net

MONDAYREVIEW.COM – Rumput laut adalah salah satu sumber pangan dan nutrisi penting dan akan semkian penting di masa yang akan datang. Rumput laut atau alga telah lama menjadi salah satu produk yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia. Bangsa-bangsa di Asia Timur (Jepang dan China) dan Kekaisaran Romawi telah menggunakan tumbuhan laut ini sebagai bahan pangan dan obat-obatan sejak ribuan tahun yang lalu.

Sementara di Britania Raya, rumput laut telah dikenal paling tidak sejak tahun 1200 M (Rose, 2016). Di Indonesia sendiri, rumput laut telah lama dikonsumsi oleh masyarakat, terutama di daerah pesisir (Waryono, 2001). Pada umumnya, pemanfaatan rumput laut pada masa itu adalah untuk dimakan atau dikonsumsi langsung. Demikian dikutip dari situs resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Potensi budi daya rumput laut harus diikuti dengan ketersediaan industri pengolahan sehingga efektif untuk membantu peningkatan perekonomian masyarakat pesisir atau nelayan.

Pengembangan industri pengolahan rumput laut sangat dibutuhkan khususnya di wilayah bagian timur Kalsel, seperti Kabupaten Kotabaru, dan Kabupaten Tanah Laut, karena selama ini hasil dari rumput laut daerah tersebut pengolahannya banyak ke Sulawesi Selatan (Sulsel).

Wilayah timur Kalimantan Selatan seperti Kabupaten Kotabaru memiliki sumber daya kelautan yang yang sangat besar, namun belum bisa dikembangkan karena keterbatasan industri pengolahan rumput laut. Hal tersebut diungkapkan oleh anggota DPRD Kalimantan Selatan Hamsyuri.  

Apalagi jika diikuti dengan budi daya secara intensif maka potensi rumput laut bisa lebih banyai lagi. Perlu merinci lebih lanjut potensi rumput laut di timur provinsi yang berbatasan Laut Sulawesi dan Selat Makassar, serta di sebelah selatan dengan Laut Jawa (Laut Indonesia) tersebut.

Harapannya perhatian pemerintah atau dari instansi terkait dan investor yang bersedia menanamkan modal untuk membangun industri pengolahan rumput laut di wilayah timur Kalsel tersebut, baik Kotabaru maupun Tanbu.

Dengan keberadaan industri pengolahan rumput laut tersebut  diharapkan dapat membantu perekonomian masyarakat pesisir atau nelayan. Wilayah timur Kalsel tersebut meliputi Kabupaten Kotabaru, Tanbu, dan Kabupaten Tanah Laut (Tala) yang di sebelah selatan juga berbatasan Laut Indonesia.

Selain itu, Kabupaten Banjar serta Kabupaten Barito Kuala (Batola) yang juga memiliki sumber daya kelautan dan perikanan, karena bagian selatan berbatasan pula dengan Laut Indonesia.Berdasarkan data, produksi rumput laut dunia dengan jenis Eucheuma cottonii dan Gracilaria sp. mencapai 395.627 ton per tahun.

Total produksi rumput laut kering Indonesia tercatat 235.374 ton per tahun atau melebihi 50 persen kebutuhan dunia. Rumput laut merupakan yang potensial untuk dikembangkan karena pemanfaatannya cukup luas di sektor industri, terutama di sektor industri makanan dan minuman.

Jumlah perusahaan pengolahan rumput laut di Indonesia tercatat 30 perusahaan berskala besar dan menengah. Nilai tambah produksi bisa dilipatgandakan di dalam negeri karena sebagian besar produk akhir masih berupa rumput laut yang belum diolah secara maksimal.

Dari 30 perusahaan tersebut, produsen rumput laut baru mampu mengolah dari karagenan (senyawa ekstrak) sebanyak 18.560 ton per tahun dan agar-agar 6.000 ton per tahun atau total 24.560 ton per tahun.

Dibandingkan dengan total produksi rumput laut kering, persentase produk olahan tersebut masih terbilang kecil. Terlebih, realisasi produksi karagenan dan agar-agar juga masih rendah, yakni berkisar 16.189 ton per tahun. Utilisasinya masih rendah.

Permasalahan ini disebabkan persaingan dalam memperoleh bahan baku antara produsen dan eksportir rumput laut kering. Untuk itu, pekerjaan rumah ke depan adalah memenuhi bahan baku rumput laut di dalam negeri.

Kemenperin bersama-sama dengan asosiasi dan para pakar telah membuat roadmap dan program-program yang bisa menjawab tantangan dari permasalahan industrialisasi rumput laut Indonesia.

Saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemanfaatan rumput laut sudah sangat beragam, baik itu untuk produk pangan maupun non pangan. Secara garis besar, produk turunan rumput laut dapat dikelompokkan menjadi 5P, yaitu Pangan, Pakan, Pupuk, Produk Kosmetik, dan Produk Farmasi (KKP, 2016). Sejumlah penelitian juga menyebutkan bahwa rumput laut dapat digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan bahan bakar atau biofuel (Wiratmaja et al, 2011).

Dengan begitu luasnya penggunaan rumput laut, tidak mengherankan bila komoditas ini menjadi salah satu produk penting dalam perdagangan internasional. Pada tahun 2016, sekitar 1 juta ton produk rumput laut diekspor dengan nilai lebih dari USD 4 milyar atau dengan kurs Rp14.000/ USD, setara Rp. 56 triliun.

Sementara itu, tercatat lebih dari 100 negara di dunia menjadi pengimpor komoditas ini (FAO, 2018). Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh Indonesia, yang memiliki kondisi geografis yang menguntungkan untuk pertumbuhan rumput laut.       

Indonesia, dengan 6.400.000 km2 luas lautan dan 110.000 km panjang garis pantai, serta didukung iklim tropis, merupakan wilayah yang sesuai untuk pertumbuhan berbagai jenis rumput laut.

Tercatat 555 jenis rumput laut dari sekitar 8000 jenis yang ada di dunia, dapat tumbuh dengan baik di wilayah Indonesia (Merdekawati & Susanto, 2009). Walaupun demikian, budidaya rumput laut di Indonesia ternyata baru mulai dikembangkan sejak tahun 1967, dan mulai berkembang pada dasawarsa 1980-an (ARLI, 2019).

Saat ini, Indonesia telah menjadi salah satu produsen utama rumput laut dunia dengan produksi rumput laut basah mencapai 11,6 juta ton pada tahun 2016 sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Produksi tersebut sebagian besar untuk jenis Euchema spp. dan Gracilaria spp. Sebagai perbandingan, pada tahun 2016, produksi rumput laut dunia adalah sekitar 30 juta ton sehingga Indonesia berkontribusi hampir 40% dari total produksi rumput laut dunia (FAO, 2018).

Dalam perdagangan internasional, data trademap menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu pemain utama dengan volume ekspor pada tahun 2018 sebesar 213 ribu ton (peringkat 1 dengan kontribusi 30% dari total ekspor dunia). Namun dari sisi nilai, Indonesia berada di peringkat 3 dengan nilai USD 294 juta atau sekitar 12% dari total nilai ekspor dunia.

Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor Indonesia lebih banyak berupa bahan baku atau produk bernilai tambah rendah. Sebagai perbandingan, China yang merupakan negara pengekspor tertinggi dengan nilai USD 594 juta, hanya mengekspor 76 ribu ton rumput laut pada tahun 2018.  Demikian laporan Disusun Oleh: Arif Wibowo, Analis Pasar Hasil Perikanan (APHP) Muda Pada Direktorat Pengolahan dan Bina Mutu Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan