Mengikat Makna ‘Pertemuan Jokowi-Amien’

Pertemuan Jokowi dan Amien Rais sesungguhnya merupakan simbol ukhuwah dan silaturrahim, bila terwujud.

Mengikat Makna ‘Pertemuan Jokowi-Amien’
Ilustrasi foto/Net

INDONESIA sepertinya perlu belajar dari Malaysia soal bagaimana menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam perspektif ‘ukhuwah dan silaturrahim’. Meski sedang sama-sama menghadapi masalah serupa yaitu utang yang menggunung. Namun warga Malaysia dan para elitenya punya perspektif yang sama soal bagaimana mengelola negara dalam menghadapi masalah tersebut.

Kemenangan Mahathir Mohammad yang secara mengejutkan memimpin oposisi bersama mengalahkan Pemerintah Barisan Nasional, yang sudah berkuasa selama 40 tahun jadi bukti bagaimana kemudian silaturrahim dan ukhuwah menjadi kekuatan yang luar biasa.

Padahal, Mahathir dan Anwar adalah rival sengit dalam politik. Anwar adalah mantan Wakil Perdana Menteri yang dipecat ketika Mahathir menjabat Perdana Menteri pada 1998. Tidak lama kemudian, Anwat divonis enam tahun karena kasus sodomi jilid satu. Anwar membantah tuduhan itu.

Pada tahun 2016, keduanya kembali akur dan berjabat tangan untuk pertama kalinya sejak 18 tahun. Anwar menyatakan mendukung upaya Mahathir untuk melawan Najib yang mereka nilai korup.

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Wakil Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Wan Azizah (isteri Anwar Ibrahim) terungkap apa sebetulnya yang membuat dirinya terdorong untuk berkoalisi dengan Mahathir.

Menurut Wan Azizah, orang islam mengenal adanya maaf-memaafkan. Dan masalah antara suaminya dengan Mahathir Mohamad adalah masa lalu. Sekarang ini, kata Wan Azizah, Dr Mahathir bersama kita untuk mengubah Negara Malaysia menjadi lebih baik lagi. Dia melawan korupsi dan segala kepincangan dengan adanya skandal 1MDB.

“Ini menunjukkan bahwa kita bergandengan tangan dan bahu membahu untuk menyelamatkan negara. Ini lebih mulia. Yang lama itu sudah berlalu. Kita dan Dr Mahathir bersama-sama mengambil langkah ke depan agar lebih baik lagi,” ujar Wan Azizah.

Memberi maaf atas kesalahapahaman, terlebih atas perbuatan buruk seseorang kepada kita memang sulit. Namun bila itu dilakukan, maka akan ada hal luar biasa yang terjadi dalam diri dan lingkungan.

Seperti dirasakan Wan Azizah, yang pada awalnya merasa berat. Bahkan ia merasa janggal bahwa dirinya bersama-sama dengan Mahathir Mohammad. Namun setelah Mahathir datang dan menunjukkan kesungguhan dan kegigihan untuk mengubah sistem negara yang ia dirikan sendiri, akhirnya ia pun memberinya maaf.

Sebetulnya ada kesamaan kondisi antara Malaysia—sebelum islah Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim—dan Indonesia saat ini dengan rivalitas dan persaingan politik yang tidak sehat. Meminjam istilah Rocky Gerung, saat ini kita disesaki oleh para elite yang ‘dungu’, yang lebih mengutamakan urusan dan syahwat politik masing-masing kelompoknya. Tak heran, penyakit sosial pun tumbuh subur, karena memang diproduksi setiap hari terutama melalui kanal-kanal digital. Dunia digital pun kemudian seolah menjadi rumah yang nyaman untuk mengumbar ‘dunia dan nafsu.’

Saking nyamannya, dunia dan nafsu pun menjadi seperti bayang-bayang, keduanya menjadi kerabat dekat. Saking dekatnya, hingga melahirkan bermacam persoalan yang meresahkan, serta membuat ibu pertiwi kembali bersedih hati. Debat kusir pengelolaan utang negara, gaji BPIP yang dipersoalkan, kriminalisasi ulama, perundungan di media sosial, hingga sejumlah aksi terorisme, sebetulnya merupakan buah dari menguatnya motivasi dunia dan hawa nafsu, serta menurunnya kualitas ukhuwah dan silaturrahmi kita.

Di dunia digital hari ini, kita dapati para elite atau bahkan rakyat biasa saling serang satu sama lain. Saling menjelekkan, dan mengklaim kelompoknya memiliki kontribusi lebih besar dalam konteks kebangsaan. Persoalan sekecil apa pun di kanal-kanal digital saat ini, bisa dengan mudah dan cepat menimbulkan letupan dan gesekan sosial.

Ruang-ruang digital kita saat ini setiap hari, jam, menit, bahkan detik, digunakan untuk memproduksi bom waktu sekaligus pemicunya. Dan saat ini, kita hanya tinggal menunggu saja, sampai pada akhirnya pemicu-pemicu kecil itu berubah menjadi besar dan meledakkan kohesi sosial kita.

Disinilah sebetulnya poin penting dari wacana pertemuan Presiden Jokowi dan mantan Ketua MPR Amien Rais yang sempat beberapa kali disetting namun belum juga menjadi kenyataan. Pertemuan ini mestinya tak diletakan dalam konteks memperbaharui hubungan politik keduanya ansich, namun juga diletakan dalam konteks ukhuwah yang lebih luas. Terutama kesamaan persepsi soal bagaimana kita menghadapi sejumlah persoalan kebangsaan saat ini. Termasuk soal utang negara yang kian menumpuk.

Pertemuan antara Jokowi dan Amien Rais sesungguhnya merupakan simbol ukhuwah dan silaturrahim yang kelak akan mendorong upaya serupa dari semua eksponen bangsa yang tengah bersitegang di tahun politik ini.

Apalagi bila pertemuan tersebut diletakan dalam konteks amalan ibadah puasa yang saat ini tengah kita jalani. Tentu memiliki makna amat dalam bagi ummat islam Indonesia.

Kenapa begitu?, karena sebagai salah satu titian anak tangga keimanan dan ketakwaan, puasa mensyaratkan kesempurnaan dalam pelaksanaannya. Bahwa puasa akan sempurna bila berhasil mendawamkan lima perkara.

Pertama, memejamkan mata dari segala yang tercela menurut syara’ (agama). Perintah puasa sesungguhnya meniscayakan adanya ketakutan dan ketaatan. Ketakutan dari melakukan perbuatan tercela, dan ketaatan untuk mencipta perilaku mulia. Seperti halnya Wan Azizah, yang meyakini bahwa bergandengan tangan bahu membahu menyelamatkan negara adalah perbuatan mulia.

Kedua, menjaga lisan dari menghina, membicarakan persoalan orang lain yang tidak disukai, berdusta, atau adu domba, dan sumpah palsu. Nabi saw. bersabda, “Ada lima perkara yang menghapus (pahala) puasa, yaitu dusta, mengumpat, adu domba, sumpah palsu, memandang dengan nafsu syahwat.”

Melalui upaya ini, tentu saja pihak-pihak yang selama ini bersitegang dapat menahan diri dari perbuatan tercela seperti menghina, mencaci maki, merundung, menebarkan informasi bohong (hoaks), atau bahkan mengadu domba.

Ketiga, menahan telinga dari mendengar sesuatu yang dibenci. Orang yang berpuasa hendaknya menjaga anggota badannya dari berbuat dosa dan hal-hal yang diharamkan oleh agama. Misalnya, menghindarkan tangan dari sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh agama, jangan melangkahkan kaki menuju tempat maksiat, begitu juga dengan perut, hindari dari memakan makanan dari usaha yang tak diridhai agama.

Upaya ini juga mengingatkan para pejabat atau siapa pun yang tengah mengamban amanah kepemimpunan baik di ranah bisnis, institusi sosial, institusi politik, atau bahkan secara individu untuk menahan diri dari mendekati dan bahkan melakukan praktik-praktik korupsi dan sebagainya yang dilarang agama dan negara.

Keempat, menahan semua anggota badan dari semua yang dibenci karena tidak ada gunanya. Termasuk memakan makanan yang berasal dari uang subhat. Karena ia seumpama meminum obat yang dicampur racun, selain sia-sia, juga bisa membuat binasa.

Termasuk soal polemik gaji BPIP yang saat ini tengah menjadi sorotan. Dan sebetulnya tidak perlu diperdebatkan, apalagi pemberian gaji atau apa pun istilahnya sesungguhnya telah melali kajian Kemenpan maupun Kemenkeu. Jika dirasa jumlah tersebut tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan. Maka mudah saja, cukup kembalikan uang tersebut, atau donasikan seperti dilakukan para pejabat pemerintahan dan anggota parlemen di Malaysia. 

Dan kelima, menyedikitkan makan/minum ketika berbuka/sahur. Maksudnya, seperti telah dijelaskan bahwa semangat utama puasa adalah menahan, menahan syahwat keduniaan agar tak begitu menggebu. Puasa sejatinya menghendaki keseimbangan dalam bersikap, termasuk dalam asupan makanan. Kebiasaan kita pada bulan-bulan di luar puasa adalah melahap begitu banyak makanan, namun tak jelas kualitas gizinya.

Pun demikian semestinya dalam bersikap. Baik terhadap diri sendiri, lingkungan keluarga, jejaring sosial (daring atau luring), maupun terhadap rezim pemerintah yang sebetulnya sama-sama kita beri mandat dalam kesempatan pemilihan umum, saatnya kita bergandengan tangan, bahu membahu menyelamatkan negara. [Mrf]