Menggugat Penguasa Tanah
Reformasi agraria harus menjadi komitmen pemerintah. Tidak ada lagi isu hanya segelintir orang yang menguasai sebagian besar lahan di Indonesia.

MONDAYREVIEW- Tudingan Amien Rais bahwa program pemerintah bagi-bagi sertifikat hanya “ngibul” mendapat tanggapan dari Presiden Jokowi. "Karena ada yang bilang ini (pembagian sertifikat) pengibulan, enggak ada itu. Ini beneran," ujar Jokowi ketika mengunjungi GOR Rudy Resnawa, di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Senin lalu.
Saat membagikan sekitar 5.640 sertifikat tanah, Jokowi meminta masyarakat mengangkat tangan ke atas untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar diberikan sertifikat oleh pemerintah. "Dulu-dulu biasanya hanya seremoni di depan ini. Makanya saya suruh angkat sertifikat," ucap presiden.
Program sertifikasi tanah merupakan program prioritas pemerintah Jokowi-JK. Pemerintah menargetkan 5 juta sertifikat terbit pada 2017, kemudian bertambah menjadi 7 juta sertifikat pada 2018. Program percepatan penertiban sertifikat ini, terkait berbagai keluhan masyarakat akibat sengketa lahan.
Setelah tanah dilengkapi sertifikat tentu menjadi bankable, artinya bisa diagunkan ke bank untuk mendapatkan pinjaman dana. Peluang ini sempat diingatkan oleh Jokowi saat pembagian sertifikat. Karena kalau tidak membayar cicilan dan bunganya, tanah akan disita oleh bank. Tentu, ini akan menjadi persoalan baru. Tanah rakyat menjadi milik perusahaan besar.
Pembagian sertifikat tanah sudah jelas manfaatnya, namun belum menghentikan kontroversinya. Amien Rais sempat menyinggung soal kepemilikan tanah 74 persen dikuasai oleh segelintir orang. Pernyataan Mantan Ketua MPR ini, memicu banyak reaksi. Dianggap asal ngomong tanpa data yang jelas.
Hanafi Rais, anggota DPR RI ikut membela pernyataan ayahnya, Amien Rais. Menurutnya, data itu bersumber dari Bank Dunia. Namun, Bank Dunia ternyata membantah telah mengeluarkan data soal kepemilikan tanah di Indonesia. Rupanya, Hanafi mengutip data itu dari berbagai media massa, yang disebutkan bersumber dari Bank Dunia.
Untuk meluruskan kesimpangsiuran ini, Fraksi PAN menggelar konferensi pers Kamis lalu. Ketimpangan lahan di Indonesia, menurut Wakil Ketua Dewan Kehormatan PAN Dradjad Wibowo, diambil datanya dari Megawati Institute. Berdasarkan sensus tiap 10 tahun oleh Badan Pusat Statistik, ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia paling tinggi terjadi pada tahun 2003. “Megawati Institute juga merilis ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia lebih parah dibanding ketimpangan pendapatan.” jelas Drajat.
Isu tanah sudah bergulir menjadi isu politik. PAN berusaha untuk mencari cara untuk mendukung pernyataan Amien Rais, dengan data. Apalagi, Ketua Umum PAN, Zulfikli Hasan ikut dibidik, karena saat menjabat Menteri Kehutanan dituding banyak mengelurkan ijin pemanfaatan lahan hutan kepada para pengusaha besar.
Soal kepemilikan lahan, Kementerian ATR/BPN ikut memberikan klarifikasi. Menurut Dirjen Penataan Agraria Muhammad Ikhsan, justru di era kepemimpinan Presiden Jokowi, pemerintah melakukan penataan pemanfaatan lahan. "Ada tanah-tanah terlantar dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha), HGB (Hak Guna Bangunan), maka kita lakukan penertiban," jelasnya, dalam paparan di Kantor kementerian ATR/BPN, Jakarta, Kamis lalu.
Tanah-tanah terlantar yang dimaksud adalah tanah-tanah yang izin pengelolaannya sudah diberikan kepada badan usaha atau perusahaan, namun tidak dimanfaatkan dengan baik. Sebagai contoh, ada perusahaan kelapa sawit yang memperoleh izin dalam bentuk HGU seluar 100 ha, namun yang dimanfaatkan seluas 60 ha. Maka ada 40 ha lahan yang menganggur.
Lahan tersebut akhirnya nganggur dan tidak produktif. Tanah inilah yang kemudian ditata oleh pemerintah dengan cara dicabut HGU-nya dan diambil alih untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Program ini disebut dengan istilah redistribusi lahan. "Redistribusi, kita berikan ke petani, dan/atau kelompok tani, badan hukum yang didirikan kelompok tani," jelas Ikhsan.
Isu kepemilikan lahan oleh segelintir orang sebenarnya isu lama, yang sudah dilontarkan oleh banyak LSM. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), misalnya pernah menyatakan 82 persen lahan di Indonesia dikuasai oleh korporasi besar. "Penguasaan saat ini oleh korporasi sebesar 82 persen, itu oleh konsesi dan izin di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan," kata Direktur Eksekutif Walhi Yaya Nur Hidayati.
Walhi mencatat dominasi penguasaan ruang dari sektor kehutanan 31,7 juta hektar, perkebunan kelapa sawit melalui hak guna usaha 11,1 juta hektar, pertambangan 32,7 juta hektar, dan pertambangan minyak dan gas 83,5 juta hektar.
Karena itu, pemerintah perlu memperbaiki persoalan tanah dan hutan yang saat ini dominan dikuasai oleh perusahaan melalui HGU dan izin-izin lainnya. Misalnya, tidak lagi memberikan izin baru untuk landbank perusahaan yang belum ditanami. Selain itu, hutan atau lahan bekas terbakar diambil negara dan dipulihkan berdasar tanggung jawab perusahaan.
Walhi menuntut pemerintah harus mengkaji ulang seluruh perizinan dan konsesi lahan atau hutan. Wilayah yang berkonflik dengan warga harus dikeluarkan dari konsesi dan mengembalikan ke rakyat. Lahan yang diperoleh secara ilegal atau ada indikasi korupsi, juga harus dicabut dan diambil oleh negara. Selain itu, pemerintah harus memfasilitasi rakyat berproduksi dengan menamam jenis tanaman berdasarkan fungsi ekologis kawasan.
Reformasi agraria harus ditangani secara serius dan menyeluruh. Siapa pun, Presiden yang nanti terpilih, agenda reformasi agraria harus dijalankan, untuk mewujudkan keadilan sosial. Benarkah lahan terbesar di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang? Jadi, tidak sekedar isu yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik