Mengapa Revolusi Memakan Anak Bangsa Sendiri?
Berapa banyak revolusi yang berakar dari perut yang lapar dan ketimpangan?

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku bertaut
Di waktu ini gelap gulita
Begitulah sajak dari sang penyair Amir Hamzah ketika ditahan oleh anak bangsa sendiri menghitung hari jelang eksekusinya. Ya, perubahan yang ada dalam berbagai fragmen waktu memang dapat mewartakan bagaimana perubahan dapat mengerkah anak bangsanya sendiri. Amir Hamzah seorang nasionalis yang dijuluki raja penyair pun contoh sahihnya bagaimana revolusi memakan anak negeri sendiri.
Ketika perubahan datang maka status quo tergoyahkan. Ganyang, konflik pun dapat terjadi. Sukarno misalnya begitu menjabat sebagai Presiden pun berusaha membuat demarkasi antara peninggalan era penjajahan dengan era Indonesia merdeka. Beberapa bangunan bersejarah yang kini diistilahkan sebagai bangunan cagar budaya pun diruntuhkan. Bahkan salah satunya adalah rumah tempat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yakni Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Negeri ini ketika memasuki pergantian di pucuk RI-1 pun tercatat menimbulkan korban. Orde Baru yang lahir, masa reformasi – terbidani dengan korban jiwa dan situasi sosial yang sempat memanas.
Maka akankah perubahan terus menerus mengerkah anak negeri? Maka kematangan demokrasi dan fondasi ekonomi merupakan kunci. Di negeri yang telah berdemokrasi secara baik, pergantian pemimpin merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Di samping itu checks and balances terjadi sehingga yang berada di pucuk eksekutif pun tidak serta merta dapat “menggebuk” pihak yang berseberangan pendapat.
Sementara itu fondasi ekonomi yang baik juga memungkinkan rakyat untuk tidak berkonflik dan “membakar rumah Indonesia”. Berapa banyak revolusi yang berakar dari perut yang lapar dan ketimpangan? Maka kombinasi politik dan ekonomi yang baik merupakan jawaban bahwa perubahan akan berjalan dengan baik-baik saja.