Mengapa Ramadhan Terasa Biasa?

Mengapa Ramadhan Terasa Biasa?

Mengapa Ramadhan Terasa Biasa?

Puasa merupakan salah satu titian anak tangga menuju keimanan yang paripurna. Karena itu, semestinya siapa pun yang menjalankan puasa dengan khusyu akan bertambahlah keimanannya. Puasa pun akan senantiasa ia rindukan.

Lalu, seandainya ada sebagian orang yang merasa biasa saja dalam menyambut Ramadhan, sehingga tak ada perubahan pasca melewatinya, maka ada sesuatu yang salah dalam dirinya.

Secara alami, sesuatu yang biasa kita lewati memang menjadi terasa biasa. Seumpama saat kita melewati tempat pembuangan sampah (TPS). Bagi yang tak biasa, pasti ia akan merasakan bau, namun bagi yang sudah biasa, pasti ia tak merasakan bau. Sensitivitas (kepekaan) kita terhadap sesuatu kian menurun lantaran seringnya bersinggungan.

Pun demikian dengan seseorang yang pertama kali melihat Ka’bah, bisa dipastikan orang tersebut akan meneteskan air mata. Tapi ketika ia melihatnya berkali-kali, maka rasa haru apalagi tangis pun sulit terasa.

Bila dilihat secara kasat mata, tentu ini hal yang biasa. namun dalam konteks keimanan, tentu ini jadi persoalan luar biasa dan berbahaya.

Ketika Ramadhan terasa biasa, sensitivitas kita atau keimanan kita menjadi tanda tanya. Apalagi diantara kita sudah ada yang merasakan Ramadhan untuk ke-20, atau bahkan ke-30 kali dan seterusnya. Rasulullah saw. pernah bersabda:

“Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni,”

Seumpama ponsel pintar yang senantiasa kita genggam, jika layar sentuhnya sudah mulai tak sensitif lagi, maka periksalah skala animasi di layar, install pixel fixer, atau berhenti pakai charger yang bukan bawaan.

Pun demikian dengan puasa yang kita jalani. Jika terasa hambar, rasa harunya sudah mulai berkurang, periksalah keimanan kita. Rumus sederhananya adalah pertahankan ketaatan atau takwa, tinggalkan kemaksiatan, dan tanamkan doktrin puasa terakhir.

Untuk mempertahankan ketaatan, maka turunannya adalah amal shaleh. Ini terlihat jelas dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an, yang setiap kali mengatakan keiamanan, maka amal shaleh selalu bersanding dengannya. Ini untuk memberi kesan bahwa dengan mengerjakan amal sholeh, iman akan meningkat.

Setidaknya, ada tiga amalan yang dalam konteks ini bisa menjaga keimanan, plus juga menjaga agar puasa selalu memiliki rasa yang spesial. Amalan tersebut adalah shalat, infaq, dan interaksi dengan al-Qur’an.

“Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat,” (QS. Al-baqarah [2], ayat 2-4).

Rumus kedua, adalah meninggalkan kemaksiatan. Manusia tidak terlepas dari perbuatan dosa, akan tetapi sebaik-baik seorang hamba yang berbuat dosa adalah yang segera bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla ketika terjerumus ke dalamnya,

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Semua anak Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat.”

Bagi seorang hamba yang hidup dengan penuh kemaksiatan, maka hatinya akan sesak, gelisah dan gundah. Sebaliknya, dengan meninggalkan maksiat, ia akan meraih kebahagiaan yang sesungguhnya, lapang dada, dan bersih jiwanya.

Resep terakhir agar cita rasa Ramadhan tak biasa saja adalah dengan menamkan doktrin bahwa Ramadhan kali ini adalah Ramadhan terakhir yang kita jalani.

Jangan sangka, jika umur kita masih akan panjang. Karena ada banyak orang yang hari ini sehat lalu tiba-tiba sakit dan tutup usia. Sebaliknya, ada pula yang sakit bertahun-tahun namun tak jua tutup usia. Tak ada yang menjamin umur seseorang.

Dengan doktrin (menanamkan dalam diri kita) bahwa ini adalah Ramadhān terakhir kita, Insyā Allāh, kita akan bisa mempersembahkan ibadah terbaik pada bulan yang mulia ini.
"Jikalau engkau ingin, shalātmu memberikan manfaat kepadamu, maka katakanlah (ketika shalāt itu), mungkin ini adalah shalāt terakhirku."

Pun demikian dengan puasa, dengan prasangka seperti itu, maka puasa yang kita jalani akan menjadi spesial. Tak lagi hambar tanpa rasa. Boleh jadi, malah memiliki rasa yang beraneka ragam. Rasa haru, dengan bertemu kembalinya dengan puasa akan kembali terasa. Subhanallah