Mendorong Pertumbuhan Kredit di tengah Tekanan Nilai Tukar Mata Rupiah
Pertumbuhan kredit konsumsi dan modal kerja menjadi indikasi ekonomi terus bergulir

MONDAYREVIEW- Tekanan terhadap Rupiah membutuhkan antisipasi terukur dari Bank Indonesia. Salah satu langkah yang kurang populer namun akhirnya harus diambil adalah dengan menaikkan suku bunga acuan BI. Pemerintah sendiri berharap Bank-bank tidak merespon dengan menaikkan suku bunga pinjaman karena likuiditas masih cukup.
Walau demikian tak dapat dipungkiri Bank cenderung telah menaikkan suku bunga depositonya. Tentu saja hal ini diharapkan tak segera diikuti dengan naiknya suku bunga pinjaman. Pertumbuhan kredit diharapkan akan tetap tercapai pada target 12% di tahun 2018 ini. Pertumbuhan kredit tidak hanya mendongkrak kinerja sektor finansial namun juga menjadi indikasi bagi pertumbuhan sektor riil.
Dikutip dari kontan.id, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit April 2018 sebesar 8,9% dibanding akhir bulan yang sama tahun lalu (year on year). Dalam empat bulan pertama 2018 BI mencatat realisasi kredit industri perbankan Rp 4.807 triliun.
Dalam data perkembangan uang beredar yang dirilis BI pada Kamis (31/5) lalu, tercatat pertumbuhan kredit April 2018 lalu lebih tinggi dibandingkan Maret 2018 yang sebesar 8,5% yoy. Diharapkan tidak terjadi penurunan pertumbuhan kredit manakala terjadi kenaikan suku bunga pinjaman. Hal ini tentu akan sangat bergantung pada situasi ekonomi dan kebijakan Bank Sentral AS yang saat ini sangat mempengaruhi ekonomi dunia.
Menurut BI, pertumbuhan kredit ini banyak didorong oleh peningkatan penyaluran kredit ke debitur korporasi dan perorangan. Kredit debitur perorangan tumbuh 9,6% perorangan dan masih berada di atas kredit korporasi yang tumbuh 7,6%. Berdasarkan jenis penggunaannya, pertumbuhan kredit perbankan banyak didorong kredit investasi yaitu 7,5%. Peningkatan kredit investasi ini dikontribusikan oleh sektor perdagangan, hotel, restoran, perdagangan eceran makan minuman dan tembakau.
Menurut Bank Indonesia yang dirilis dalam Hasil Survei Perbankan mengindikasikan pertumbuhan kredit baru pada triwulan I 2018 secara triwulanan (qtq) melambat sesuai dengan pola penyaluran kredit pada awal tahun, namun lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pertumbuhan kredit baru sebesar 75,9% pada triwulan I 2018, lebih rendah dari 94,3% pada triwulan sebelumnya, sejalan dengan masih rendahnya kebutuhan pembiayaan nasabah di awal tahun. Meski demikian, pertumbuhan kredit baru pada triwulan I 2018 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan SBT pertumbuhan kredit baru triwulan I 2017 yang hanya sebesar 52,9%.
Pertumbuhan triwulanan (qtq) kredit baru diperkirakan menguat pada triwulan II 2018 sebagaimana terindikasi dari SBT sebesar 93,1%. Menguatnya pertumbuhan kredit didukung oleh kebijakan penyaluran kredit yang lebih longgar, terutama pada aspek suku bunga kredit yang lebih rendah dan biaya persetujuan kredit yang lebih murah. Penurunan suku bunga kredit diperkirakan terjadi pada kredit modal kerja sebesar 3 bps menjadi 11,78% dan suku bunga kredit konsumsi turun 8 bps menjadi 14,50.
Hasil Survei Perbankan juga mengindikasikan tetap kuatnya optimisme terhadap peningkatan pertumbuhan kredit tahun 2018. Optimisme tersebut didukung oleh perkiraan kondisi ekonomi tahun 2018 yang lebih baik dari tahun sebelumnya, penurunan suku bunga kredit, dan penurunan risiko penyaluran kredit. Untuk keseluruhan tahun 2018, pertumbuhan kredit diperkirakan mencapai 11,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan kredit tahun 2017 sebesar 8,2% (yoy).