Mappi Sebut Periodisasi Hakim Agung Tidak Diperlukan

Usia pensiun 70 tahun memenuhi jaminan independensi hakim dari intervensi eksekutif dalam hal masa jabatan.

Mappi Sebut Periodisasi Hakim Agung Tidak Diperlukan
Arsip - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi hakim anggota Enny Nurbaningsih (kiri), dan Wahiduddin Adams (kanan) bersiap memulai sidang putusan perkara gugatan di Gedung MK. (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso/foc)

MONITORDAY.COM -  Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) menilai tidak diperlukan periodisasi jabatan hakim agung di Indonesia, karena pembatasan dengan usia pensiun 70 tahun seperti sekarang sudah menjamin independensi hakim agung.

"Posisi kami pada dasarnya secara materiil ataupun substansi melihat pada saat ini periodisasi jabatan hakim agung tidak diperlukan atau setidaknya belum diperlukan untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan," ujar Ketua Mappi Muhammad Rizaldi dalam sidang uji Undang-Undang Mahkamah Agung, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin.

Mappi merupakan pihak terkait dari permohonan yang menyoal jabatan hakim agung itu.

Selanjutnya, Rizaldi menyebut usia pensiun 70 tahun memenuhi jaminan independensi hakim dari intervensi eksekutif dalam hal masa jabatan.

Sedangkan penerapan periodisasi masa jabatan membutuhkan kajian mendalam mengenai jangka waktu yang ideal batasan lamanya satu periode masa jabatan hakim agung.

Menurut dia, daripada periodisasi, yang terpenting adalah proses seleksi yang sifatnya objektif berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

"Tapi tidak bisa dipungkiri proses seleksi jabatan-jabatan publik ada aspek politiknya di sana. Begitu juga dengan seleksi hakim agung yang juga pada akhirnya nanti masuk ke DPR untuk dipilih oleh DPR," kata Rizaldi.

Terlepas dari itu, Mappi berpendapat pengaturan periodisasi hakim agung merupakan ranah pembuat undang-undang, sesuai Pasal 24A ayat (5) UUD 1945, yakni susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara di Mahkamah Agung diatur dengan undang-undang.

Ada pemohon pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah perseorangan bernama Aristides Verissimo de Sousa Mota.

Dia menghendaki masa jabatan hakim agung dibatasi lima tahun dan dapat dipilih kembali pada periode kedua, sehingga masa jabatan hakim agung maksimal 10 tahun, seperti presiden dan wakil presiden.