Malapetaka Pembelajaran Tatap Muka

Malapetaka Pembelajaran Tatap Muka

MONITORDAY.COM - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa angka kematian anak-anak yang terpapar Covid 19 di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara, bahkan melampaui China dan Amerika, kemungkinan juga tertinggi di dunia.

Uji coba sekolah atau pembelajaran tatap muka di beberapa daerah malah membuat puluhan anak-anak yang mengikutinya terpapar Covid 19. Apakah belum juga cukup? Lalu apa urgensinya melakukan pembelajaran tatap muka?

Anak-anak ini adalah generasi penerus bangsa, keselamatan mereka harusnya jadi prioritas pertama di atas prioritas lainnya.

Ada banyak pendapat yang menyebutkan bahwa pembelajaran jarak jauh atau daring, mengakibatkan kemunduran pada dunia pendidikan kita. Mengakibatkan learning loss dan stres pada anak. Bahkan ada yang menyebutkan sampai mengakibatkan pernikahan dini.

Hal ini sebenarnya bisa disikapi jika pemerintah dan instansi terkait melakukan kebijakan yang visioner. Sedangkan kurikulum dan sistem pembelajaran yang sekarang digunakan tidak lebih dan hanya memindahkan ruang sekolah ke rumah, tidak ada yang berbeda. Hal ini tentunya merepotkan, dan tidak heran banyak orang tua yang terbebani. Tidak seharusnya pula pemerintah merespon hal ini dengan melakukan uji coba pembelajaran tatap muka. Jangan jadikan generasi penerus bangsa ini ajang uji coba.

Meskipun dengan dalih, bahwa guru sudah di vaksin, maka otomatis pembelajaran tatap muka dianggap aman? Logika dari mana itu justo? Apakah karena guru sudah divaksin maka otomatis anak-anak akan aman dari kemungkinan terpapar Covid-19?

Agak memalukan jika kita berpikir seperti itu. Kenapa memalukan? Teruskan membaca artikel ini, kami akan jelaskan pelan-pelan.

Yang divaksin itu kan guru, bukan murid. Artinya guru yang terlindungi, sedangkan murid menjadi sitting duck alias sasaran sangat empuk bagi Covid-19. Kok bisa begitu?

Alasannya, meskipun guru sudah divaksin, bukan berarti guru tersebut tidak dapat menularkan murid - muridnya. Meskipun sudah divaksin tetap dapat terpapar Covid 19. Yang membedakan hanyalah mereka yang sudah divaksin tidak akan mengalami gejala berat dan memiliki resiko lebih ringan dari yang belum divaksin. 

Artinya anak-anak yang belum divaksin tersebut sangat besar resikonya terpapar Covid 19 baik dari gurunya atau bisa juga dari temannya. Karena seperti yang kita semua pahami bahwa anak-anak adalah mahkluk super sosial. Mereka pasti akan berkumpul dan berkerumun satu dengan yang lainnya. Lantas bagaimana cara mengontrolnya?

Kekhawatiran lainnya adalah kita belum tahu efek buruk apa yang ditinggalkan Covid-19 pada sistem kesehatan tubuh. Kerusakan yang diakibatkan Covid-19 apakah bersifat permanen atau bisa direcovery oleh tubuh kita. Bayangkan jika anak-anak ini meskipun telah sembuh dari Covid-19, tapi memiliki fungsi paru-paru yang tidak lagi sempurna.

Dan bayangkan pula bahwa tingkat kematian anak-anak yang terpapar di Indonesia sangat tinggi.

Trus kapan dong anak-anak bisa masuk sekolah lagi? Ketika mereka telah divaksin. Maka sekolah bisa dibuka kembali dan para generasi penerus bangsa ini bisa kembali melakukan pembelajaran tatap muka.

Apakah kita sepakat bahwa learning loss masih lebih baik daripada tumbangnya generasi penerus bangsa?

(A/a)