Kurangi Modus Pencurian Ikan, Dir POA: KKP Terapkan Kebijakan Inovatif
KKP menerapkan kebijakan inovatif untuk mengurangi modus pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

MONITORDAY.COM - Percepatan proses persetujuan atau rekomendasi dan perizinan kapal perikanan baru asli Indonesia terus dilakukan.
Demikian disampaikan oleh Direktur Pemantauan dan Operasi Armada (POA), Pung Nugroho Saksono saat melakukan penangkapan Kapal Ikan Ilegal asal Malaysia yang diawaki oleh 4 ABK asal Indonesia, Kamis (24/9/2020).
"Upaya ini diyakini sebagai kebijakan inovatif KKP untung mengurangi modus pencurian ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI)," ujar Dir POA yang sering disapa Ipunk.
Ipunk yang bakal meraih gelar doktoralnya tahun ini juga mengungkapkan, tertangkapnya 4 awak kapal asal Indonesia di KIA ilegal asal malaysia ini adalah modus yang sengaja dilakukan.
Namun dilain pihak, kata ipunk, proses persetujuan kapal baru juga mungkin mengalami perlambatan sehingga sejumlah nelayan lokal yang lincah dilirik oleh pengusaha Kapal Nelayan dari negara lain.
Lebih lanjut, Ipunk menghimbau kepada nelayan lokal agar tidak mau dimanfaatkan oleh pengusaha Nelayan Asing untuk mencuri di negerinya sendiri. Jika ada hambatan-hambatan yang menghalangi proses percepatan, perlu disampaikan sehingga ada solusi konkrit.
"KKP selalu siap untuk percepatan izin kapal baru, yang penting sesuai prosedur dan tidak menyalahi aturan," pesannya.
KKP dibawah komando Menteri Edhy Prabowo, berupaya merangkul berbagai pihak agar melahirkan kebijakan strategis, kontributif dan tidak menyalahi prosedur.
Dijelaskan Ipunk, untuk penerbitan persetujuan pengadaan kapal perikanan baru juga memiliki dasar hukum sesuai dengan UU Perikanan. Adapun aturan itu tertuang dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan.
Pada pasal 35 ayat satu disebutkan setiap orang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan.
Pengadaan kapal baru atau bekas itu perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung sumber daya ikan (SDI). Ini sebagai penjelasan pasal 35 ayat 1 tersebut.
Bagi pihak melanggar ada sanksi pidana. Sanksi itu antara lain pidana penjara paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta bagi yang tidak mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada pasal 35 ayat 1 UU Perikanan (pasal 95 UU Perikanan).