Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca dan Tekan Bahaya Mikroplastik

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca dan Tekan Bahaya Mikroplastik
sampah pencemar lingkungan/ net

MONITORDAY.COM – Berbagai bencana alam yang terjadi tak lepas dari terjadinya pemanasan global. Maka emisi gas rumah kaca dan degradasi lingkungan sebagai penyebabnya harus segera diatasi. Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia.

Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Letusan vulkanik, pernapasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida), dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan) menjadi penyebab alami emisi gas rumah kaca.

Yang dapat diupayakan adalah menguranginya. Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Ekonomi hijau harus dimulai dari masing-masing individu dengan penuh kesadaran. Ekonomi hijau didefinisikan sebagai ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis, dan yang bertujuan untuk pembangunan berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Ini terkait erat dengan ekonomi ekologi, tetapi memiliki fokus yang lebih diterapkan secara politis.

Untuk menjadi hijau, ekonomi tidak hanya harus efisien, tetapi juga adil. Keadilan menyiratkan pengakuan dimensi keadilan tingkat global dan negara, terutama dalam memastikan Transisi yang Adil ke ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber daya, dan inklusif secara sosial. Demikian laporan lembaga dunia untuk lingkungan UNEP 2011.

Dalam ekonomi hijau ada penilaian langsung modal alam dan jasa ekologi yang memiliki nilai ekonomi (lihat The Economics of Ecosystems and Biodiversity and Bank of Natural Capital) dan rezim penghitungan biaya penuh di mana biaya dieksternalisasi ke masyarakat melalui ekosistem dapat ditelusuri kembali ke, dan dicatat sebagai kewajiban, entitas yang melakukan kerugian atau mengabaikan aset.

Praktik Stiker Hijau dan ekolabel telah muncul sebagai indikator keramahan konsumen terhadap lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Banyak industri mulai mengadopsi standar ini sebagai cara untuk mempromosikan praktik penghijauan mereka dalam ekonomi global.

Masyarakat harus mulai diedukasi untuk selalu menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan dan meminimalkan sedikit mungkin penggunaan kemasan plastik.

Sejumlah organisasi lingkungan di Indonesia sejatinya sudah mulai menginisiasi edukasi langsung kepada masyarakat terkait hal tersebut.

Ecoton salah satunya, sebagai organisasi pecinta lingkungan yang tegas menolak penggunaan kemasan plastik sekali pakai termasuk misalnya untuk kemasan galon air sekali pakai.

Selain akan menghabiskan sumber daya alam, ada potensi yang lebih mengkhawatirkan lagi dari kehadiran miroplastiknya. Semakin menumpuknya sampah mikropastik akan menunjukkan progam pengelolaan sampah yang digerakkan pemerintah selama ini melalui 3R (reduce, reuse, recycle) menjadi sia-sia.

Meskipun bisa didaur ulang kemasan plastik seperti misalnya galon sekali pakai tetap akan menambah banyak mikroplastik yang dilepas ke alam. Potongan-potongan plastik itu berpotensi menjadi transporter bahan-bahan berbahaya yang ada di lingkungannya. Plastik itu adalah zat kimia, sehingga bisa mengganggu kesehatan manusia.

Maka ketika masyarakat sadar bahwa yang dikonsumsinya itu menjadi sampah,  mereka tidak harus mengulangi pemakaian terhadap produk itu. Penggunaan kemasan galon air mineral sekali pakai dikhawatirkan menjadi salah satu pemicu makin banyaknya sampah mikroplatik yang akan mencemari lingkungan.  

Di banyak negara lain di dunia, umumnya memang kepentingan lingkungan selalu dikalahkan dengan hitung-hitungan ekonomi. Ini yang menyebabkan ketika industri mengklaim itu menjadi sesuatu yang bisa di-recycle, pemerintah mudah untuk menerbitkan izin. Demikian dilansir dari Antara.

Apalagi hanya 20 persen saja dari sampah plastik itu yang benar-benar bisa di-recycle, sisanya sebanyak 80 persen adalah downgrade atau sudah tercemar. Kondisi ini pun dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru di tengah kesibukan semua pihak menangani dampak pandemi COVID-19.