KPK Harus Usut Dugaan Korupsi di TPK Koja dan Proyek Infrastruktur Bermasalah
Atas beberapa temuan investigatif kasus TPK Koja, JICT, maupun proyek infrastruktur bermasalah lainnya, KPK diminta bergerak cepat untuk memproses kasus-kasus tersebut.

MONDAYREVIEW.COM – 3 Agustus 2017, aktivitas Jakarta International Container Terminal (JICT) tak seperti biasanya. Tak ada deru mesin-mesin alat berat crane dan laju truk yang bersliweran membawa container. Bahkan tak ada pergerakan manusia di pelabuhan yang menangani hampir 70 persen ekspor impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) ini.
Rupanya, hampir 95 persen pekerja dari pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia melakukan aksi mogok. Yang biasa hiruk pikuk dengan aktivitas bongkar muat peti kemas, kala itu betul-betul lumpuh total.
Sekretaris Jendral Serikat Pekerja (SP) JICT M Firmansyah menjelaskan, para pekerja JICT mogok karena menolak lankah pemegang saham JICT untuk memperpanjang kontrak ke Hutchison Port Holdings (HPH).
Ketika itu, langkah mogok para pekerja JICT mengacu pada hasil audit Pemeriksaan dengan tujuan tertentu BPK nomor 48/Auditama VII/PDT/12/2015 yang menemukan bahwa perpanjangan JICT berlangsung tanpa persetujuan pemerintah, dalam hal ini menteri BUMN dan Menteri Perhubungan.
Menurut laporan BPK ketika itu, negara juga rugi sekitar 650 miliar akibat tidak optimalnya uang muka perpanjangan Hutchison. Selain itu, saham Pelindo II belum mayoritas (51 persen) sebgaimana dipersyaratkan Menteri BUMN jika ingin melakukan perpanjangan kontrak JICT. Bahkan JICT sebetulnya diuntungkan dengan membeli murah JICT sebesar US$ 215 juta dan Koja senilai US$ 50 juta tanpa evaluasi yang notabene memiliki pangsa pasar 70 persen di Tanjung Priok.
Dari sini kemudian BPK melakukan investigasi lanjutan, yang hasilnya adalah temuan potensi penyelewengan dengan jumlah kerugian yang fantastis. Kasus JICT dinyatakan telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,08 triliun.
Skema Identik Kasus Koja
Berdasarkan informasi dan temuan terbaru, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI kemudian menyelesaikan audit investigatif terhadap proses pembangunan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja milik Pelindo II. Sejumlah penyimpangan dan indikasi kerugian keuangan negara mencapai minimal USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun.
Hal itu terungkap dalam penyerahan hasil audit investigatif lanjutan BPK RI di hadapan Pimpinan DPR RI, Rabu (31/1). Hadir empat orang Pimpinan DPR yakni Ketua Bambang Soesatyo dan tiga wakilnya yakni Taufik Kurniawan, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah dan Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka.
Dalam temuan BPK, ada dugaan penyalahgunaan dengan skema identik kasus Koja dengan Jakarta International Container Terminal (JICT). Metodenya mirip yang dimulai dengan rencana perpanjangan yang sudah diinisasi sejak 2011 oleh mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino tanpa pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Hal itupun tak pernah diinformasikan dalam laporan keuangan 2014.
Temuan BPK selanjutnya, adalah penunjukkan Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch sebagai financial advisor oleh Pelindo II, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan aturan perundangan. DB sebenarnya tidak lulus evaluasi administrasi, serta terindikasi konflik kepentingan karena merangkap negosiator, pemberi utang, dan arranger.
Namun dalam prosesnya, valuasi bisnis yang dibuat DB diduga telah diarahkan untuk mendukung skenario perpanjangan dengan Hutchisom menggunakan dasar perhitungan tidak valid. Dengan dampak nilai upfront fee yang diterima PT Pelindo II jadi lebih kecil dan tidak seharusnya terjadi.
Gerak Cepat KPK
Atas temuan tersebut, BPK berjanji akan segera menyelesaikan sisa audit pembiayaan Kalibaru dalam 40 hari ke depan. “Penyimpangan tersebut patut dijadikan perhatian. PT Pelindo membuat kerugian sebesar 139 juta US dolar atau 1,86 triliun,” terangan Ketua BP, Moemarhadi di DPR.
Sementara Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan bahwa temuan ini seharusnya jadi momentum bagi DPR untuk menuntaskan pembenahan BUMN yang menangani pelabuhan Indonesia. Hasil audit juga membuktikan bahwa kerja DPR selama ini bukanlah demi menyasar satu dua orang petinggi Pelindo II.
Hal ini dilakukan demi mengembalikan marwah BUMN. Kalau Koja dan JICT bisa diselamatkan, ini bisa jadi legacy baik bagi negara. Sudah ada yurispridensi TPS Surabaya bisa dikelola mandiri. Kenapa JICT dan Koja tidak?
Sementara Ketua DPR Bambang Soesatyo, menyatakan akan mendorong penegak hukum untuk menyelesaikan kasus Pelindo II. Hasil audit investigatif BPK jelas. Jadi DPR akan dorong pihak Kejaksaan, Polisi dan KPK untuk menuntaskan temuan audit investigatif kasus-kasus Pelindo II.
Atas beberapa temuan investigatif kasus TPK Koja maupun JICT, KPK kemudian diminta bergerak cepat untuk memproses kasus-kasus tersebut. Apalagi ditambah dengan beberapa proyek pembangunan infrastruktur lainnya, yang ternyata bermasalah hingga membuat jatuh korban.
Dalam catatan mondayreview.com, paling tidak dalam 6 bulan terakhir ada 7 kasus kecelakaan infrastruktur, yaitu; (1) Beton di Proyek Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi ambruk pada 22 Oktober 2017 (1 orang tewas); (2) Girder atau jembatan beton di proyek tol Pasuruan-Probolinggo di Pasuruan ambruk, 29 Oktober 2017 (1 tewas, 2 terluka); (3) Konstruksi proyek Light Rapid Transit (LRT) di daerah Kayuputih, Pulo Gadung, Jakarta Timur, jatuh pada Senin Januari 2018 (5 orang terluka); (4) Balok Girder dalam konstruksi pembangunan jembatan pengganti ruas Lebak Bulus-Kampung Rambutan di kawasan Antasari ambruk pada 2 Januari 2018; (5) Sebuah crane pengangkut beton proyek pembangunan Double-Double Track (DDT) di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur jatuh pada 4 Februari 2018 pukul 05.00 wib (4 orang pekerja tewas; (6) Tanah longsor di bawah jalur rel kereta Bandara, Senin 5 Februari 2018; (7) Tiang grider proyek Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu) ambruk di dekat Gardu Tol Kebon Nanas, Jl. DI. Panjaitan, Jakarta Timur, Selasa (20/2).
[Mrf]