KPK dan Bangkai Politik yang Dihasilkannya

Dengan elektabilitas KPK yang baik, maka publik akan cenderung percaya pada konstruksi opini yang didiseminasi oleh lembaga anti rasuah tersebut.

KPK dan Bangkai Politik yang Dihasilkannya
KPK (youth proactive)

MONDAYREVIEW.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang masih dipercaya dan secara elektabilitas masih lebih baik di masyarakat dibandingkan parlemen, Kepolisian, dan Kejaksaan. Keberhasilan mengungkap laku korupsi di berbagai lembaga negara serta sorotan media membuat KPK menjadi lembaga yang dipercaya.

Kehadiran KPK yang sesungguhnya bersifat sementara ini, awalnya dikarenakan Kepolisian dan Kejaksaan dipandang kurang secara integritas untuk memberantas korupsi, kolusi, nepotisme. Ya, KPK merupakan lembaga yang lahir dengan semangat reformasi.

Kekuasaan KPK pun extra ordinary yakni melakukan supervisi terhadap Kepolisian dan Kejaksaan, melakukan penyadapan. Namun seperti lazimnya rumus kekuasaan yang dapat menggoda dan menggelincirkan.

Tentu kita semua sudah mafhum dengan pernyataan Lord Acton yang kerap diulang di berbagai segmen bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Rangkaian kritikan pun dialamatkan kepada KPK. Wakil ketua DPR, Fahri Hamzah diantaranya sudah sejak dahulu mengungkapkan kritik terhadap KPK. Lalu ada juga kritik dari Amien Rais bahwa KPK semakin hebat, namun busuk.

“Saya merasa dari masa ke masa KPK itu hebat, tapi semakin busuk,” kata Amien Rais di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/6).

 Nama Amien Rais memang belakangan diseret-seret terkait korupsi alat kesehatan. Jaksa KPK mengutarakan di sidang mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari bahwa Amien Rais mendapatkan transferan yang totalnya Rp 600 juta.

Tak berselang lama dari ujaran Jaksa KPK tersebut, Hanum Salsabiela Rais memberikan cerita mengenai seorang jenderal yang menjadi penghubung agar bosnya dapat bertemu Amien Rais di tempat rahasia. Namun Amien menampik jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan jauh dari radar media. Amien menyatakan dirinya dapat menjadi bangkai politik.

Akan kemanakah hilir dari pernyataan Jaksa KPK dengan Amien Rais ini tentu masih dinanti kemudian. Namun, perkara Amien Rais yang nama baiknya “dipreteli” seakan menjadi episode kesekian dari tindak tanduk KPK. Dalam skala besar sebelumnya ada kasus E-KTP dan sejumlah nama yang kena stabilo kuning dan Merah oleh KPK. Celakanya nama-nama tersebut beredar secara serampangan di publik, lalu kemudian mengambang saja kasusnya.

Dengan elektabilitas KPK yang baik, maka publik akan cenderung percaya pada konstruksi opini yang didiseminasi oleh lembaga anti rasuah tersebut. Belasan politikus yang disebut namanya ikut mendapatkan legitnya bancakan uang E-KTP, nama mereka disebut gelondongan. Lalu ketika Presiden Jokowi ingin memilih para menteri, KPK memberikan stabilo kuning dan merah pada sejumlah nama. Mereka diindikasikan akan terkena kasus hukum dalam hitungan bulan. Namun, nyatanya hingga 2 tahun lebih pemerintahan Jokowi, sejumlah nama tersebut tidak berperkara hukum korupsi.

Hukum dan politik memang terkadang berkelindan. Hukum dapat dijadikan alat pemukul yang efektif untuk menggebuk rival politik. Maka boleh dibilang kehadiran Pansus Angket KPK merupakan upaya dari parlemen untuk memastikan KPK tidak abuse of power.

Dengan penyebutan sejumlah nama yang diopinikan menerima korupsi, lalu diambangkan saja, maka KPK secara tidak langsung telah melakukan pembunuhan karakter terhadap para politikus. Tentu KPK tidak ingin disebut sebagai lembaga yang menghadirkan bangkai politik. Menjadikan nama para politikus habis kariernya dengan opini tanpa tindak lanjut bahwa yang bersangkutan diduga menerima korupsi.