Kontroversi LGBT dan Revolusi Seksual
.

MONDAYREVIEW.COM - Meskipun dekade ini hampir bisa dipastikan bukan yang terkotor dalam kehidupan relasi sosial, tapi dapat dipastikan bahwa saat ini merupakan masa yang paling terobsesi oleh revolusi seksual yang memaksa laki-laki atau pun perempuan menegosiasikan kembali keintiman yang mereka inginkan.
Adalah teknologi informasi yang selain memberi andil dalam kemajuan di dunia industri, ternyata juga berpengaruh luas pada kebudayaan dan nilai-nilai. Keluarga sebagai institusi terendah dalam relasi sosial, merupakan yang paling mengkhawatirkan di era ini. Terutama soal seksualitas, reproduksi dan perkawinan.
Simaklah bagaimana rumitnya persoalan ini ketika muncul di tengah publik, seperti terlihat dari perbincangan tentang LGBT yang memenuhi lini masa twitter. Tak kurang dari 16.203 cuitan yang diluncurkan para netizen dalam seminggu terakhir diperkuat dengan munculnya pernyataan dari Ketua MPR terkait dukungan LGBT di parlamen.
Transformasi Keintiman
Bila di era pra-modern relasi seksual hampir tidak dapat keluar dari relasi heteroseksual, perkawinan dan reproduksi, maka kecenderungan di era modern adalah keinginan dari sebagian orang untuk memutuskan hubungan yang niscaya antara seksualitas, reproduksi dan perkawinan atau apa yang oleh Anthony Giddens disebut sebagai ”seksualitas plastis.”
Seksualitas Plastis merupakan efek terburuk dalam transformasi keintiman (transformation of intimacy), dimana seksualitas semakin menjadi bagian yang terpisah dari reproduksi. Seiring kemajuan teknologi, saat ini konsepsi itu dapat diproduksi, bukan hanya sekedar kemaluan buatan, tetapi juga seksualitas pada akhirnya benar-benar sudah dapat mengurus kebutuhannya sendiri.
Celakanya, kembali meminjam konsepsinya Giddens, seksualitas plastis bukan hanya telah mengubah semua konsepsi masyarakat modern tentang seksualitas, namun juga telah menjadi ciri kepribadian, lebih lanjut menjadi identitas diri yang intrinsik.
Gagalnya Demokrasi
Kasus pembunuhan berantai dengan motif kepuasan seksualitas dan ekonomi yang dilakukan oleh sejumlah orang dalam 1 dekade ini, mungkin adalah yang terburuk sepanjang sejarah revolusi seksual dalam kehidupan sosial kita. Kasus ini bukan sekadar bukti akan adanya efek terburuk dari transformasi keintiman, namun juga bentuk kegagalan demokrasi dalam menghadirkan toleransi kosmopolitan dalam menghadapi fundamentalisme, baik agama maupun pasar (neoliberalisme).
Karena alih-alih laju transformasi keintiman yang selama ini terjadi melahirkan emansipasi dalam ruang publik, nyatanya malah dieksploitasi menjadi trend yang paling menjanjikan dalam industri dan gaya hidup. Trend ini terlihat nyata dalam tayangan televisi yang menghadirkan ikon-ikon artis berlaga kemayu.
Sementara itu agama juga tidak mampu menyediakan ruang dialog untuk melewati tahapan ini. Doktrin agama yang kita kenal tentang perilalu menyimpang ini lebih sering dikaitkan secara historis dengan sejarah kaumnya Nabi Luth (kaum sodom), dibandingkan alasan lain yang lebih rasional, yang memberikan solusi lain yang lebih mungkin diterima masyarakat modern.
Atas nama kebebasan, Fundamentalisme pasar dan agama berkelindan dalam menyikapi fenomena revolusi seksual, sehingga menimbulkan dilema dalam masyarakat yang telah terkena sindrom seksualitas plastis. Melaju tak terkendali akibat industri pasar, sementara rem norma, agama dan hukum tampak belum selesai berkesimpulan.
Kemandulan demokrasi ini kulminasinya semakin menjauhkan relasi keintiman dengan reproduksi, perkawinan dan kenikmatan seksual. Hal ini bisa terlihat jelas dari tayangan erotis, kasus perceraian sejumlah artis, dan yang saat ini mulai berani dimunculkan ke tengah publik adalah pernikahan sesama sejenis atau pun kelompok-kelompok LGBT yang disinyalir berkedok lembaga bantuan konseling bagi LGBT.
Secara fitrah, tubuh manusia memiliki kehormatan dan kemuliaan yang bersumber dari Sang Pencipta. Karena itu, tubuh manusia harus dihormati dan dimuliakan, baik selama hidup maupun setelah mati. Pelecehan apa pun terhadap kehormatan tubuh mansia sama artinya dengan penistaan kehormatan si pemilik tubuh.