Kontribusi Perempuan dalam Islam
Rasulullah saw. tidak menolak keterlibatan para akhwat atau muslimah dalam berbagai macam peperangan, untuk berbagai peran atau sumbangsihnya.

MENGENAI urusan kedaulatan suatu negara, laki-laki dan perempuan di awal keemasan Islam telah berpartisipasi aktif membela kebenaran dan menegakkan supremasi daulah. Rasulullah saw. tidak menolak keterlibatan para akhwat atau muslimah dalam berbagai macam peperangan, untuk berbagai peran atau sumbangsihnya.
Sebagaimana Ar Rubay binti Muawwidz pernah menuturkan, “Kami pernah bersama Nabi SAW dalam peperangan. Kami bertugas memberi minum prajurit, melayani mereka, mengobati orang terluka, serta mengantarkan orang terluka dan terbunuh ke Madinah.” (HR. Bukhari)
Kita menyaksikan sejarah keterlibatan Ummu Imarah binti Kaab, seorang perempuan Bani Mazin dan Asma binti Amr bin Adi, perempuan dari Bani Salamah, dalam baiat Aqobah kedua bersama 73 kaum laki-laki. Setelah itu, kita juga mendapatkan kisah perempuan-perempuan Muslimah berbaiat kepada Rasul sesuai dengan perintah Allah Swt.: “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia (baiat) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah swt, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, tidak berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan pada Allah untuk mereka.” (Al Mumtahanah:12)
Disini tampak jelas, interaksi antara laki-laki dan perempuan di sektor publik telah terjadi sejak zaman Nabi saw. masih hidup di antara para sahabat, dan generasi-generasi setelahnya. Gugurlah anggapan bahwa Islam melakukan pembatasan peran terhadap perempuan, dan mengganjal total keterlibatan perempuan di sektor publik.