Memilih Ulama Panutan

ABDULLAH bin Mas’ud ra berkata :”Barang siapa mengambil suri tauladan, hendaklah ia mengambilnya dari orang-orang yang telah mati, karena orang yang masih hidup tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan dan kesalahan).

Memilih Ulama Panutan
ilustrasi foto

ABDULLAH bin Mas’ud ra berkata :”Barang siapa mengambil suri tauladan, hendaklah ia mengambilnya dari orang-orang yang telah mati, karena orang yang masih hidup tidak ada jaminan selamat dari fitnah (kesesatan dan kesalahan). Mereka merupakan para sahabat Muhammad ra; generasi paling utama umat ini, paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, dan paling sedikit takaluf (membuat-buat, memaksakan diri, bersikap apa adanya). Mereka telah dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan ajaran-Nya. Kenalilah keutamaan mereka! Berpegang teguhlah dengan akhlak dan sejarah kehidupan mereka sesuai kemampuan kalian ! Karena mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”

Ali bin Abi Thalib ra berpesan: “Kebenaran tidak dikenal dari orang-orangnya. Tetapi kenalilah kebenaran, maka engkau akan tahu siapa orang-orang yang berada di atas kebenaran!”. Para ulama salaf memberi nasehat: “Ikutilah jalan kebenaran dan jangan merasa kesepian dengan sedikitnya orang yang menempuh jalan kebenaran. Jauhilah jalan kebatilan dan jangan tertipu oleh banyaknya orang-orang yang binasa (pengikut jalan kebatilan).”

Salah satu penyakit yang sering menimpa aspek keilmuan umat Islam yaitu ketergantungan kepada tokoh (figuritas) dan kultus individu. Karena meyakini ketokohan, senioritas atau integritas keilmuan seorang ulama tertentu, sebagian umat Islam tidak bisa memilah mana pendapat dan tindakan ulama tersebut yang harus diambil (karena sesuai dengan Al-Quran, Sunah dan ijma) dan mana yang harus ditolak (karena bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah dan ijma). Penyakit ini dalam banyak kesempatan menjadi penyebab fanatisme golongan, bid'ah dan kesesatan.

Imam Ibnu Jauzi berkata: “Ketahuilah! Sesungguhnya dalam hati kebanyakan pengikut madzhab (aliran pemikiran) ada kekaguman (figuritas) terhadap seorang tokoh (ulama). Mereka mengikuti saja pendapat tokoh (ulama) tersebut tanpa mentadaburi (mengkaji ulang) pendapatnya. Ini merupakan inti kesesatan, karena perhatiannya harus ditujukan kepada pendapat, bukan kepada siapa yang mengeluarkan pendapat.”