KLHK Targetkan Pembentukan 20.000 Kampung Iklim
Pelaksanaan ProKlim tahun 2020 terus dilaksanakan di masa pandemi COVID-19, dalam upaya mempersiapkan masyarakat yang berketahanan iklim dan menerapkan pola hidup rendah emisi Gas Rumah Kacar (GRK).

MONITORDAY.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkuat Program Kampung Iklim (ProKlim) dengan menargetkan pembentukan 20.000 kampung iklim pada akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha A Sugardiman dalam Media Briefing secara virtual diakses dari Jakarta, Rabu, mengatakan pelaksanaan ProKlim tahun 2020 terus dilaksanakan di masa pandemi COVID-19, dalam upaya mempersiapkan masyarakat yang berketahanan iklim dan menerapkan pola hidup rendah emisi Gas Rumah Kacar (GRK).
Sesuai kebijakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, ia mengatakan pelaksanaan ProKlim akan terus diperkuat dengan target 20.000 kampung iklim pada akhir periode RPJMN 2020-2024. Untuk mencapai target tersebut sinergi antarprogram prioritas di KLHK akan terus ditingkatkan, termasuk pengembangan lokasi ProKlim pada wilayah desa binaan Kementerian.
Sebanyak 2.775 lokasi setingkat desa, kelurahan dan dusun atau rukun warga, menurut Ruandha, sudah didaftarkan menjadi ProKlim melalui Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI) sampai 2020. Selain itu, kemitraan dengan dunia usaha dan perguruan tinggi juga akan terus dibangun, serta memperkuat peran pemerintah daerah sebagai Pembina ProKlim.
Modalitas kelembagaan masyarakat dan dukungan keberlanjutan di lokasi ProKlim, serta kegiatan baik terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dijalankan oleh masyarakat antara lain seperti pemanfaatan lahan pekarangan untuk meningkatkan ketahanan pangan, penerapan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan pengelolaan sampah terbukti memberikan manfaat nyata bagi masyarakat kampung iklim.
“Pengendalian perubahan iklim tidak hanya berhenti pada proses negosiasi di tingkat internasional. Kesepakatan yang ditetapkan para pihak dalam berbagai forum persidangan, perlu diterjemahkan menjadi aksi nyata di tingkat nasional, subnasional sampai ke tingkat tapak. Dengan pendekatan yang holistik, terarah, strategis dan partisipatif diharapkan kita mampu mewujudkan Indonesia berketahanan iklim dan rendah emisi GRK,” kata Ruandha.
Sementara itu, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim pada Direktorat Jenderal PPI KLHK Sri Tantri Arundhati menjelaskan ProKlim adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh KLHK dalam rangka meningkatkan pemahaman mengenai perubahan iklim, penyebab dan dampaknya, sehingga masyarakat dan seluruh pihak terdorong untuk berpartisipasi aktif melaksanakan penguatan kapasitas adaptasi perubahan iklim dan penurunan emisi GRK.
Melalui pelaksanaan ProKlim, menurut dia, pemerintah memberikan pengakuan terhadap kegiatan baik yang berkontribusi terhadap upaya pengendalian perubahan iklim dan dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan karateristik dan kondisi masing-masing wilayah.
Tantri menambahkan, sebagai gerakan nasional pengendalian perubahan iklim berbasis masyarakat, ProKlim dilaksanakan pada lokasi minimal di tingkat RW/dusun dan maksimal di desa/kelurahan atau pada lokasi khusus yang masyarakatnya secara kolektif telah melaksanakan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara berkelanjutan misalnya di lingkungan kampus, pesantren, paroki, dan lain sebagainya.
Kegiatan di lokasi ProKlim harus mencakup tiga komponen kegiatan yaitu, pertama, kegiatan adaptasi perubahan iklim meliputi kegiatan pengendalian kekeringan, banjir dan longsor, peningkatan ketahanan pangan, antisipasi kenaikan muka air laut dan pengendalian penyakit terkait iklim. Kedua, kegiatan mitigasi perubahan iklim, mencakup pengelolaan sampah dan limbah, penggunaan energi baru terbarukan, konservasi dan penghematan energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi serta pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Ketiga, aspek kelembagaan dan dukungan keberlanjutan kegiatan yang mencakup kelompok masyarakat, dukungan kebijakan, dinamika kemasyarakatan, kapasitas masyarakat, keterlibatan pihak eksternal, pengembangan kegiatan serta manfaat sosial, ekonomi, lingkungan dan pengurangan risiko bencana iklim.